Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyambut positif niat pemerintah untuk mengevaluasi perizinan 2,3 juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam hutan. Dengan begitu, permasalahan utama tentang legalitas lahan bisa terungkap.
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan pihaknya menyambut niat pemerintah dalam mengevaluasi perizinan kebun kelapa sawit yang diindikasikan masuk ke dalam kawasan hutan.
"Kalau [evaluasi] begitu tidak masalah. Misalnya perizinan kebun ada di dalam kawasan hutan, dengan begitu akan terlihat [kebun dalam kawasan] disebabkan karena perubahan kebijakan tata ruang atau memang perusahaan tersebut memang di kawasan hutan tetapi sedang mengurus pelepasan kawasan hutan," katanya kepada Bisnis pada Jum'at (19/10).
Menurutnya, dengan evaluasi tersebut polemik legalitas yang selama ini memperkeruh industri perkebunan kelapa sawit dapat lebih jernih.
Namun, Eddy menegaskan kalau kebun tersebut berada dalam kawasan hutan akibat perubahan kebijakan atau inkonsistensi pemerintah dalam membentuk rencana tata ruang wilayah (RTRW) maka pemerintah seharusnya memberikan kompensasi kepada pengusaha.
"Kalau [masuknya kebun ke kawasan] akibat perubahan tata ruang sebaiknya izin diputihkan karena sebelumnya memang bukan kawasan hutan," tegasnya.
Baca Juga
Eddy memprediksikan provinsi yang segera dievalusi adalah Kalimantan Tengah dan Riau. Eddy mengatakan khusus untuk Kalimantan Tengah memang banyak kebun yang masuk ke dalam kawasan hutan akibat perubahan kebijakan dalam beberapa periode.
Berdasarkan data yang diperoleh Gapki dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk provinsi Kalimantan Tengah terdapat 349 Perusahaan dengan luas 2 juta hektar yang masuk dalam kawasan. Sementara Riau terdapat 183 perusahaan dengan luas 455.571 hektar.
Eddy menjelaskan bahwa pada perda no.8/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah menyebutkan Area Penggunaan Lain (APL) atau non kawasan hutan seluas 32% dari total luas wilayah yakni 15,3 juta hektar.
Namun kebijakan RTRW tersebut direvisi dengan terbitnya perda no.5/2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang menetapkan kawasan non hutan hanya 17% dari 15,7 juta hektar luas wilayah. Dengan berkurangnya APL otomatis, banyak kebun sawit yang merangsek masuk kawasan hutan.
Eddy mengharapkan pemerintah memberikan jalan keluar berupa pemutihan terhadap kebun sawit milik perusahaan yang masuk ke dalam kawasan akibat perubahan kebijakan.
Meski begitu, ketika ditanya bila pemerintah bersikeras tidak memberikan pemutihan Eddy menjawab sudah ada jalan keluar lain yang ditawarkan pemerintah melalui PP 104 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
"Memang pemerintah memberikan jalan keluar penyelesaian melalui PP 104 jadi apabila sudah memproses melalui PP 104 tersebut seharusnya tidak masalah," katanya.
Namun, diakuinya PP tersebut tidak dengan mudah dapat meyelesaikan masalah keterlanjuran karena masih ada masalah pada kebun yang masuk kedalam hutan produksi dan hutan produksi terbatas dengan persyaratan tukar menukar. Selain itu perusahaan juga kesulitan mencari lahan pengganti.
Permasalahan lain adalah adanya biaya Povisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Ganti Rugi Tegakan, Dana Reboisasi (DR) beserta dendanya sampai dengan 15 kali dari total biaya per hektar. Biaya tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya membangun sebuah kebun sawit.
Eddy mengatakan industri kelapa sawit telah terbukti sebagai menyumbang devisa terbesar di Indonesia, oleh karena itu dia berharap industrinya dilindungi oleh kebijakan yang memberikan kepastian hukum.
"Masih ada kebijakan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah dalam hal Tata Ruang, demikian juga perlu dilihat dengan jernih kebijakan-kebijakan mana yang justru mengkerdilkan industri sawit sebaiknya direvisi atau dihapus," katanya.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada periode keemasan berkembangannya perkebunan kelapa sawit pada 1980—1997 dengan pertumbuhan per tahun 19%. Sementara pada periode 1998—2017 hanya tumbuh 7,9%.