Bisnis.com, JAKARTA — Tidak tercapainya target lifting minyak nasional dapat dipicu oleh pertimbangan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mengukur harga produksi atau tingkat keekonomian.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pertimbangan teknis juga mengacu pada penurunan alamiah dari sebuah sumur minyak.
Menurutnya, kendala teknis tidak hanya mengacu pada peralatan produksi, tetapi juga faktor alami dari lapangan minyak yang sebagian tua di Indonesia.
“Memang tidak ada cara lain, selain mencari cadangan baru,” tuturnya ketika dihubungi, Selasa (9/10/2018).
Langkah KKKS untuk mendorong produksi sesuai target APBN 2018, mungkin dapat tercapai, tetapi dengan mengorbankan biaya produksi. Wajar, menurutnya, kalau pilihan kontraktor tidak memaksimalkan produksi karena urusan keekonomian.
Termasuk juga yang dilakukan oleh PT Chevron Pasific Indonesia, yang tidak meningkatkan investasi untuk mendorong kuantitas produksi. “Secara psikologis semua akan begitu, sekiranya masih memenuhi keekonomian mereka. Kalau CPI kan tinggal bagaimana mengoptimalkan bisnisnya,” tambahnya.
Hingga September 2018, realisasi lifting minyak bumi pada kuartal III/2018 tercatat sebesar 774.000 bopd atau 97% dari target 800.000 bopd. Dari realisasi lifting nasional tersebut, lima KKKS besar berkontribusi 73% total produksi.
Lima KKKS tersebut yakni PT Chevron Pasific Indonesia, PT ExxonMobil Cepu Ltd., PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Mahakam dan PHE OSES di Blok Southeast Sumatra (SES).