Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perkuat Rupiah, Pengusaha Diversifikasi Valas untuk Ekspor dan Impor

Para pelaku bisnis mengusulkan skema terobosan untuk mengurangi ketergantungan pengusaha terhadap dolar Amerika Serikat dalam kegiatan ekspor impor. Caranya adalah dengan diversifikasi mata uang saat melakukan transaksi internasional.
Kinerja ekspor dan impor Indonesia dengan negara-negara mitra dagang./Bisnis-Radityo Eko
Kinerja ekspor dan impor Indonesia dengan negara-negara mitra dagang./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA—Para pelaku bisnis mengusulkan skema terobosan untuk mengurangi ketergantungan pengusaha terhadap dolar Amerika Serikat dalam kegiatan ekspor impor. Caranya adalah dengan diversifikasi mata uang saat melakukan transaksi internasional.

Diversifikasi valuta asing (valas) saat transaksi ekspor dan impor menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (8/10/2018). Berikut laporan selengkapnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menjelaskan, skema diversifikasi nilai tukar tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak tertekan dolar AS.

Berdasarkan perhitungan Apindo, lanjut dia, apabila rencana tersebut diaplikasikan dengan baik dan disetujui oleh pemerintah, nilai tukar rupiah akan menguat pada kisaran Rp13.000—Rp13.500 per dolar AS.

Menurut Hariyadi, penyebab rupiah terus tertekan terhadap dolar AS adalah terlalu besarnya pemintaan domestik terhadap greenback. Di satu sisi, para importir membutuhkan dolar AS untuk membeli barang. Di sisi lain, eksportir yang mendapatkan dolar AS dari penjualnya enggan mengonversikannya ke rupiah dengan berbagai alasan.

“Unuk itu kami mau bikin komitmen, transaksi untuk ekspor dan impor ke negara tujuan ekspor utama kita selain AS—seperti ke China, Jepang, Uni Eropa, Australia dan Singapura—akan menggunakan mata uang negara tujuan ekspor. Misalnya, ke China ya pakai reminbi atau ke Uni Eropa pakai euro,” tuturnya kepada Bisnis, pekan lalu.

Langkah tersebut, menurutnya, praktis akan mengurangi ketergantungan eksportir dan importir RI terhadap dolar AS. Lagipula, nilai transaksi perdagangan RI dengan AS pada 2017 masih lebih rendah dari China, Jepang, Uni Eropa dan Singapura.

Dia menyebutkan, transaksi internasional yang benar-benar harus memakai dolar AS hanyalah dengan Negeri Paman Sam. Selain itu, mata uang lain seperti euro, yen dan yuan telah diakui sebagai mata mata uang global, karena telah masuk dalam daftar keranjang mata uang cadangan International Monetary Fund (IMF).

Berdasarkan data Apindo, pada tahu lalu nilai perdagangan dengan RI dan AS mencapai US$28,27 miliar, alias hampir sepertiga dari nilai perdagangan RI dan China pada periode yang sama senilai US$64,33 juta.

“Sebab ekspor dan impor kita ke AS tidak terlalu besar dan tidak melulu ke negara itu. Perdagangan kita ke AS juga tidak sebesar ke China, Jepang atau Uni Eropa, jadi ngapain menahan-nahan atau bersikukuh pakai dolar AS,” tutur Hariyadi.

Dia pun meyakini rencana tersebut akan mendapatkan dukungan dari sisi pelaku usaha. Dia percaya, para pebisnis akan mengedepankan nasionalismenya alih-alih bersikukuh dengan egonya. Untuk itu, saat ini Apindo tengah gencar melakukan sosialisasi dan diskusi dengan para pebisnis dan regulator termasuk pemerintah untuk mensukseskan skema tersebut.

Saat dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, otoritas perdagangan mendukung rencana tersebut. Menurutnya, upaya tersebut akan membantu menahan pelemahan rupiah, yang selama ini ditumpukan ke pemerintah.

"Artinya ada kesadaran dari dunia usaha untuk ikut serta mendorong perdagangan Tanah Air dan mengendalikan nilai tukar. Ini langkah baik, kami siap mengakomodasinya," terangnya.

JALIN KERJA SAMA

Sementara itu, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengatakan, rencana Apindo tersebut merupakan pemantapan sekaligus pengingat bahwa Indonesia telah menjalin sejumlah kerja sama pertukaran mata uang untuk perdagangan selain dengan AS, yaitu dengan China.

Dia berujar, perjanjian yang telah dimiliki Bank Indonesia (BI) dan Kemendag dengan People's Bank of China (PBC) terkait pertukaran mata uang antara rupiah dan renminbi di sektor perdagangan telah dilakukan sejak 2009. Kebijakan tersebut disebut adalah Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA).

“Aturan dan kesepakatannya sudah ada. Namun, pelaksanaannya tidak nampak karena pengusaha masih enggan ditambah lagi tidak ada intervensi dari pemerintah. Sehingga saat ini kami melihat, arahnya ke renmibi dulu untuk diversifikasi, selanjutnya baru mata uang negara lain,” katanya kepada Bisnis.

Saat dimintai konfirmasi, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta W. Kamdani meyakini bahwa terobosan tersebut tidak akan membebani para pelaku usaha terkait dengan kebutuhan valuta asing untuk melakukan transaksi internasional.

“Kesadaran dari kalangan usaha untuk mendiversifikasi sudah ada dan lumayan besar. Kini pekerjaan rumah kita tinggal meyakinkan dan menciptakan komitmen supaya melakukan diversifikasi valas guna mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS,” katanya.

Dia pun menilai, rencana tersebut cukup adil terhadap para eksportir maupun importir, lantaran kini kerja sama dagang Indonesia tidak hanya terpaku dengan AS. Dengan berkembangnya arus perdagangan dunia, RI bahkan memiliki transaksi dagang yang lebih besar dengan China dibandingkan dengan AS.

Di sisi lain, ekonom Indef Berly Martawardaja mengapresiasi terobosan yang dilakukan oleh kalangan usaha tersebut. Hal itu menurutnya mencerminkan adanya kesadaran yang besar dari para pebisnis bahwa ketergantungan terhadap dolar AS di tengah tren penguatan ekonomi Paman Sam, akan membebani perekonomian negara berkembang seperti Indonesia.

“Hanya saja saya melihat dampaknya tidak akan instan. Komitmen para pengusaha ini harus dijaga. Saya melihat tidak akan 100% pengusaha berbasis ekspor-impor mau mengaplikasikan rencana Apindo itu, karena mungkin ada ego sektoral mereka,” katanya.

Selain itu, menurutnya, kebijakan itu mungkin baru akan terasa dalam beberapa bulan ke depan atau bahkan pada tahun depan, lantaran banyaknya eksportir dan importir yang terikat transaksi kontrak jangka panjang. Perubahan denominasi mata uang transaksi akan membuat para pengusaha dan kliennya, mengatur nota kesepahaman ulang dan juga kebijakan lindung nilai transaksinya.

Dari kalangan pengusaha, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengaku siap melaksanakan rencana Apindo tersebut. Pasalnya, kebijakan itu dianggapnya akan memberikan pertolongan dan angin segar bagi perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

“Menurut kami ini ide yang cukup baik. Kami pun punya transaksi yang cukup besar dengan negara lain selain AS, seperti China, Jepang dan UE. Jadi bukan masalah bagi kami selama ada regulasi yang menjamin kebijakan itu,” ujarnya.

Adapun, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, kontrak pembelian minyak kelapa sawit selama ini dilakukan menggunakan dolar AS dan berlaku di seluruh dunia.

Untuk itu, dia mengaku cukup sulit jika harus memaksakan penggunaan mata uang asing selain greenback untuk melakukan transaksi.

“Tetapi kami tidak menutup kemungkinan menggunakan mata uang lain , selama ada permintaan dan penawarannya,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper