Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Jangan Hancurkan Keramba Kami

Keramba jaring apung (KJA) jangan dihancurkan tetapi perlu ditata. Perlu dilakukan perbaikan teknik budi daya yang lebih ramah lingkungan, terutama pada pembudidaya rakyat, antara lain menggunakan jenis pakan terapung
Nelayan memeriksa keramba jaring apung miliknya di Dusun Telong Elong, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Selong, Lombok Timur, NTB, Senin (7/8)./ANTARA-Ahmad Subaidi
Nelayan memeriksa keramba jaring apung miliknya di Dusun Telong Elong, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Selong, Lombok Timur, NTB, Senin (7/8)./ANTARA-Ahmad Subaidi

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia memiliki panjang garis pantai, wilayah danau dan sungai yang panjang dan luas dan sangat potensial untuk pengembangan perikanan budi daya. Budi daya bisa dilakukan pada perairan umum (waduk dan sungai) yang umumnya menggunakan alat keramba jaring apung (KJA).

Potensi yang sangat besar untuk perikanan budi daya tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menciptakan kemakmuran masyarakat. Namun amat disayangkan ada beberapa pihak justru ingin memperkecil jumlah KJA, bahkan ada upaya untuk dihapus pada wilayah-wilayah tertentu.

Penetapan waduk Jatiluhur sebagai zero keramba dan rencana pengurangan KJA di danau Toba menjadi hanya 10.000 ton per tahun merupakan contoh ketidakberpihakan pada perikanan budi daya di perairan umum.

Amat disayangkan kebijakan pemerintah untuk mengurangi KJA tersebut tanpa didasari penelitian yang komprehensif. Namun hanya berlandaskan pada dugaaan atau asumsi tanpa mempertimbangkan semua aspek.

KJA sering dituding sebagai sumber pencemaran utama pada perairan umum. Padahal bagi pembudidaya ikan, air yang mereka gunakan sama artinya seperti tanah bagi petani. Pembudidaya ikan yang mencemari air sama saja dengan petani yang memberi racun pada sawahnya.

Pembudidaya ikan akan selalu berupaya menjaga agar air tempat mereka melakukan budi daya tidak tercemar agar bisa terus beroperasi.

Sungai, waduk atau danau menampung air dari hulu yang melewati berbagai sumber polutan, misalnya dari pertanian, peternakan, industri dan lainnya. Waduk atau danau juga terkena polutan secara langsung dari lingkungan sekitarnya seperti pertanian, peternakan, rumah tangga atau hotel.

Untuk mengetahui sumber polutan yang mencemari waduk/danau, seharusnya dilakukan penelitian mulai dari hulu hingga hilir, bukan hanya di lokasi waduk/danau tersebut.

Hasil penelitian Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KKP) membuktikan bahwa sumber utama pencemaran danau Toba bukan berasal dari KJA, tetapi dari berbagai sungai yang masuk ke danau.

Penelitian yang dilakukan di 23 stasiun di danau dan 25 stasiun di sungai yang masuk danau Toba itu mengungkapkan total fosfor dari aliran sungai yang masuk ke danau 96.669,2 ton per tahun atau 53 kali lipat lebih besar dari yang dihasilkan budi daya ikan KJA.

Hasil kajian tersebut mementahkan penelitian Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Provinsi Sumatera Utara pada 2016 yang menyebutkan bahwa fosfor yang masuk ke dana toba terutama berasal dari KJA. Penelitian DHLD tersebut kurang komprehensif, karena belum mengukur besar beban pencemar dari aliran sungai yang masuk ke danau Toba.

Ironisnya, Gubernur Sumut telah menandatangani Surat Keputusan No 188.44/213/KPTS/2017 yang membatasi budi daya perikanan di danau Toba hanya menjadi 10.000 ton per tahun. Bila dilaksanakan keputusan tersebut akan menghancurkan ribuan KJA yang saat ini menjadi mata pencaharian penduduk di sekitar danau.

Keputusan itu mengabaikan berbagai hasil penelitian lainnya yang menyatakan daya dukung danau Toba berkisar 45.000-65.000 ton per tahun (kajian BRSDM KKP) , lalu 35.000 ton per tahun (kajian LIPI), 55.000 ton per tahun (kajian Rhode Island University).

Perbedaan angka daya dukung danau Toba tersebut terutama akibat perbedaan asumsi status trofik danau. BRSDM KKP merekomendasikan status trofik danau Toba adalah mesotrofi sedangkan DHLD Sumut merekomnedasikan status oligotrofi. DHLD Sumut menyebutkan status oligotrofi sebagai visi yang hendak dicapai, tetapi tentunya suatu visi haruslah masuk akal.

Berdasarkan catatan, status oligotrofi danau Toba terjadi sebelum 1930. Dengan demikian agar danau Toba statusnya bisa kembali menjadi oligotrofi maka kondisi sekitar danau harus dikembalikan sesuai dengan kondisi sebelum 1930, dimana pada waktu itu sekeliling danau masih berupa hutan lebat.

Sangatlah jelas bahwa mengembalikan kondisi sekeliling danau Toba menjadi sama dengan sebelum 1930 tidak mungkin dilakukan. Alhasil, visi untuk mengembalikan danau Toba menjadi oligotrofi adalah khalayan belaka.

Selain tudingan menjadi penyebab kerusakan lingkungan, beberapa pihak juga menganggap KJA harus dihapuskan karena merusak pariwisata. Dikesankan bahwa KJA menganggu keindahan alam, sehingga keberadaannya di lokasi wisata perlu dihapuskan. Mempertentangkan pariwisata dengan perikanan adalah sangat ironis mengingat kedua sektor tersebut adalah sektor andalan yang diusung pemerintah saat ini. Seharusnya sektor pariwisata dengan perikanan jangan dipertentangkan tetapi disinergikan demi kemajuan Indonesia.

Wisata pada waduk/danau seharusnya bisa dipadukan dengan perikanan budi daya, misalnya dengan mendirikan sentra-sentra kuliner hasil perikanan budi daya. Termasuk didalamnya terdapat pusat oleh-oleh yang berbahan baku olahan hasil perikanan budi daya.

Kita bisa belajar dari kota Bremerhaven (Jerman) yang mampu mendatangkan jutaan pengunjung hanya dengan menjual wisata kuliner olahan hasil perikanan. Kita juga bisa belajar dari Norwegia atau Alaska yang menjadikan budi daya salmon dengan KJA menjadi atraksi yang menarik jutaan wisatawan dari berbagai penjuru dunia.

DAMPAK SERIUS

Pemerintah perlu berhati-hati dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan perikanan budi daya KJA, karena dampak ekonominya sangat besar dan bisa memicu keresahan masyarakat. Perikanan budi daya KJA pada danau Toba diperkirakan menghasilkan perputaran ekonomi lebih dari Rp1,5 triliun per tahun.

Perikanan budi daya KJA pada aliran sungai Citarum yang memiliki tiga waduk diperkirakan menghasilkan perputaran ekonomi lebih dari Rp2 triliun per tahun. Usaha perikanan budi daya KJA tersebut melibatkan puluhan ribu kepala keluarga yang bekerja dari sektor hulu ke hilir, seperti pabrik pakan, hatchery, petambak, pengolah ikan, pedagang ikan dan lainnya.

Sebagai penutup, upaya menghapuskan KJA untuk perikanan budi daya sama saja halnya dengan menghancurkan sawah untuk bercocok tanam padi. Andaikan terdapat hal kurang tepat dalam cara bercocok tanam, seharusnya yang diperbaiki adalah cara bercocok tanamnya, bukan dengan menghancurkan sawahnya.

Demikian pula halnya dengan budi daya perikanan KJA, seharusnya KJA jangan dihancurkan tetapi perlu ditata. Perlu dilakukan perbaikan teknik budi daya yang lebih ramah lingkungan, terutama pada pembudidaya rakyat, antara lain menggunakan jenis pakan terapung. Lokasi KJA juga perlu ditata, diatur sedemikian rupa sehingga selaras dengan sektor pariwisata. Dengan demikian perikanan budi daya KJA akan tetap menjadi tulang punggung ekonomi bagi masyarakat, khususnya yang berada di sekitar perairan umum.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (27/9/2018)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper