PT Pelindo II (Persero) atau IPC—BUMN operator pelabuhan dengan pangsa pasar terbesar pada 2017 menurut Drewry Maritime Advisors—menjamin kapasitas dan produktivitas bongkar-muat dari dan ke kapal agar mimpi menjadikan Indonesia poros maritim dunia terwujud. Bagaimana kesiapan IPC? Berikut ini petikan wawancara Bisnis dengan Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha IPC Saptono R. Irianto:
Apa peran IPC dalam mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia?
Tentunya kami sangat mendukung untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Posisi geografis kita merupakan peralihan Samudra Pasifik, Samudra Hindia, Asia, Australia. Jadi, kita sebenarnya secara geografis berada di daerah boulevard.
Maka, diciptakanlah fasilitas-fasilitas yang mampu melayani kapal-kapal besar, misalnya New Priok agar kapal-kapal besar yang direct shipment menyinggahi Tanjung Priok. Dengan begitu, kita ikut menikmati volume perdagangan yang beredar di Asia.
Kita juga tidak boleh lupa kecepatan bongkar-muat barang itu menjadi prioritas. Bicara servis itu harus bicara peralatan, sistem, dan komitmen.
Pertengahan tahun ini, Presiden Joko Widodo melepas kapal direct call ke AS. Apakah akan dikembangkan ke negara lain?
IPC tetap berupaya menciptakan rute direct baru. Keberhasilan program ini tidak terlepas dari banyak faktor eksternal, seperti kondisi ekonomi makro, iklim perdagangan, dan politik. Dukungan dari pemerintah juga dibutuhkan.
Direct shipment sesungguhnya menguntungkan eksportir karena ongkos bongkar-muatnya hanya di Priok dan di port tujuan. Jadi, mengurangi biaya double handling. Kapal itu memang ke Singapura, tapi barang kita tidak turun.
Dalam kaitannya mendukung Indonesia sebagai poros maritim dunia, IPC saat ini telah mampu melayani kapal dengan ukuran besar (mother vessel) hingga mencapai ukuran kapasitas 10.000 TEUs dengan rute direct call melalui Pelabuhan Tanjung Priok yakni: Indonesia – USA, Indonesia – Eropa, dan Indonesia – Australia, Brisbane.
Sejauh ini antara muat (ekspor) dan bongkar (impor), lebih banyak yang mana?
Sekarang mulai agak balanced. Evaluasi yang dulu memang impornya lebih banyak.
Pada 2017, tol laut sudah menurunkan disparitas harga di nusantara sekitar 20%-30% dan tahun ini diharapkan disparitas itu kian menyempit. Apa peran IPC di sini?
Pertama, kita harus bisa menstandardisasi pelabuhan. Pelabuhan wilayah barat dan timur harus bisa dihitung kemampuan pelayanannya sehingga kargo dari barat ke timur atau timur ke barat itu bisa dihitung fixed cost-nya.
Kedua, yang menjadi persoalan sekarang adalah balance cargo-nya belum bisa diciptakan. Kargo dari barat ke timur sudah ada, tetapi kargo dari timur ke barat masih sedikit. Ini yang kami harapkan di wilayah timur juga dikembangkan wilayah industri sesuai dengan materi-materi sumber daya alam di sana sehingga volume [muatan balik] lebih besar dan cost per unit barang lebih rendah.
IPC bergerak di bidang pelayanan jasa. Bagaimana menjaga hubungan baik dengan pengguna jasa?
Kami harus me-maintain pelanggan, menyelesaikan persoalan atau klaim-klaim pelanggan, memberikan semangat kepada pelanggan untuk meningkatkan produksinya, dan meningkatkan kepercayaan pelanggan. Caranya, kami harus sering visit customer, coffee morning, customer gathering, juga memberikan award kepada customer.
Yang paling penting kami memberikan fasilitas e-care kepada customer. Kalau dia merasa ada sesuatu yang kurang dari pelabuhan, dia bisa komplain melalui sistem. Pasti akan kami respons.
Kami juga menerapkan customer relation management atau CRM. Dengan database, kami bisa melihat perkembangan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. In case ada customer kami yang volumenya turun, kami bisa tanya dan bisa kasih advice apabila ada permasalahan di kepelabuhanan.
Bagaimana dengan rencana utilisasi aset yang saat ini sedang disusun oleh IPC?
Sebagai perusahaan kan pasti punya aset. Daftar aset itu kami evaluasi. Kami bagi menjadi aset yang sudah produksi tapi belum optimal dan aset yang sudah produksi dan sudah optimal. Ada lagi aset yang belum berproduksi. Kemudian, aset yang bermasalah. Itu semua kami optimalkan.
Untuk yang bermasalah, kami coba selesaikan supaya tidak bermasalah dan bisa berproduksi.
Sementara itu, aset yang belum berproduksi, kami 'jual', kami tingkatkan, sesuai dengan rencana induk pelabuhan.
Aset yang sudah produksi, tetapi belum optimal, kami evaluasi. Misalnya, suatu lokasi tadinya menghasilkan Rp10 miliar. Setelah kami evaluasi, mestinya bisa Rp20 miliar, lalu kami menyusun langkahnya. Kalau yang sudah optimal, kami pertahankan, kami harus sesuaikan dengan teknologi sekarang.
Contohnya?
Penanganan curah cair di Teluk Bayur yang dikerjasamakan dengan mitra, rencana pengembangan kawasan ekonomi khusus di Bengkulu, dan pengoperasian Terminal JICT II di Tanjung Priok. (*)