Bisnis.com, JAKARTA — Insentif untuk badan usaha jalan tol yang berpotensi mengalami kekurangan pendapatan pascakebijakan rasionalisasi tarif akhirnya mengerucut kepada opsi kompensasi biaya yang bersumber dari APBN.
Kompensasi untuk badan usaha jalan tol menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Sabtu (15/9/2018). Ini Laporannya.
Dalam waktu dekat, pembahasan yang sudah ditajamkan di level teknis antarkementerian tersebut akan segera diputuskan lewat pertemuan antara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Basuki mengakui dari sejumlah usulan yang ditawarkan, seperti insentif pajak dan cash deficiency support (CDS), opsi mengerucut ke kompensasi biaya dari APBN.
Pembahasan mengenai ‘ganti rugi’ dari pemerintah sebagai kompensasi untuk badan usaha yang menurunkan tarif tol sudah dimulai sejak April atau ketika rasionalisasi tarif mulai digulirkan.
“Kemungkinan dari APBN, semacam subsidi. Jadi tinggal saya dan Bu Menkeu di level menteri, apa yang sudah dibahas di level teknis kalau bisa disetujui,” ujar Basuki di sela-sela peninjauan ke Tol Kunciran—Serpong, Jumat (14/9/2018).
Kendati demikian, Basuki tidak mengungkapkan secara detail bentuk kompensasi tersebut, misalnya apakah berbentuk tunai, bagaimana frekuensi pembayarannya, serta berapa besaran yang akan dialokasikan untuk membayar kompensasi karena penurunan internal rate return (IRR) di sejumlah ruas tol tersebut.
“Sudah ada rencana formulanya dari Kemenkeu, tidak dibayar seperti pola AP setiap tahun. Mungkin ada timing-nya, misalnya diberikan dua atau tiga kali. Akan dibahas,’’ jelasnya.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna mengatakan kerugian BUJT yang akan diganti pemerintah dihitung dari perkiraan pendapatan dalam tingkat pengembalian investasi proyek.
Adapun, kompensasi itu hanya diberikan kepada ruas tol yang saat tarif diturunkan dan perpanjangan konsesi sudah diberlakukan, tingkat IRR masih saja tidak bisa kembali ke level semula, dan berpotensi merugikan BUJT karena kurangnya pendapatan yang diterima.
Dalam pembahasan terakhir, Herry mengatakan sebanyak empat hingga enam ruas tol diperkirakan masuk dalam kategori penerima kompensasi tersebut. Artinya, ruas tol tersebut berpotensi memiliki tingkat pengembalian investasi yang lebih rendah dari yang sebelumnya disepakati dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), meskipun penurunan tarif sudah dikompensasi dengan perpanjangan konsesi.
Dari informasi yang dihimpun Bisnis, beberapa ruas yang berpotensi masuk dalam kategori tersebut, adalah Krian—Legundi—Bunder dan Ciawi—Sukabumi yang konsesinya dikelola anak usaha PT Waskita Karya (Persero) Tbk., Semarang—Batang dan Solo—Ngawi yang dikelola anak usaha PT Jasa Marga (Persero) Tbk. dan Kertosono—Mojokerto yang dikelola anak usaha Astra Infra.
Selain kompensasi biaya, Herry mengatakan kenaikan tarif di luar kenaikan tarif 2 tahunan juga menjadi tambahan opsi untuk diajukan dalam pembicaraan level menteri. Konsepnya, apabila ruas tol yang bersangkutan masih memiliki volume kendaraan yang rendah dalam beberapa tahun pascarasionalisasi tarif, maka kenaikan tarif untuk mengganti pendapatan dimungkinkan.
“Namun, sebaliknya, apabila dalam evaluasi, volume kendaraan sudah berkembang, maka tarif tidak perlu naik.”
Dalam konsep terakhir, kompensasi berupa biaya dan kenaikan tarif akan disetop apabila dalam evaluasi berkala, pendapatan BUJT dinilai sudah sesuai dengan IRR dalam rencana investasi awal.
Sejak awal tahun, pemerintah memutuskan untuk melakukan rasionalisasi tarif tol dengan menurunkan tarif tol menjadi 1.000/km pada kendaraan golongan I. Sebagai gantinya, BUJT mendapatkan kompensasi penambahan waktu konsesi.
Implementasi aturan tersebut hanya akan diterapkan pada 39 ruas tol yang seluruhnya merupakan tol yang dibangun di atas tahun 2010. Pasalnya, tarif tol sejak tahun itu rata-rata sudah berada di atas Rp1.000/km.
Sebagai gantinya, masa konsesi tol yang rata-rata berkisar antara 35-40 tahun akan diperpanjang sampai maksimal menjadi 50 tahun. IRR ruas tol diharapkan tetap stabil karena penambahan masa konsesi akan mengompensasi penurunan tarif.
Namun, apabila IRR masih di bawah level yang seharusnya, pemerintah menyatakan niatnya untuk mengompensasi bagian tersebut agar tidak merugikan BUJT.
Selain itu, dalam kebijakan rasionalisasi tarif tol, pemerintah juga melakukan penyederhanaan golongan kendaraan dari 5 golongan menjadi 3 golongan.
Kebijakan itu sendiri diterapkan setelah banyak pengusaha mengeluhkan tarif tol yang mahal sehingga lebih memilih jalur alternatif dibandingkan dengan tol.
KEPUTUSAN KONKRET
Corporate Secretary Jasa Marga Agus Setiawan mengatakan pihaknya menunggu keputusan konkret mengenai kepastian bentuk kompensasi kepada badan usaha. Jasa Marga diperkirakan memiliki dua ruas yang berpotensi mengalami kekurangan pendapatan.
Menurut Agus, keyakinan kelayakan rencana bisnis pengusahaan jalan tol akan tetap terjaga apabila pemerintah dapat memberikan kompensasi biaya, misalnya berupa subsidi tunai untuk menstabilkan IRR.
“Semua BUJT pasti menunggu realisasi bentuk subsidi pemerintah untuk menjaga IRR yang sudah disepakati dengan pemerintah tidak berubah,” kata Agus kepada Bisnis.
Sekjen Asosiasi Tol Indonesia (ATI) Sunarto Sastrowiyoto mengatakan apabila opsi tersebut akhirnya disetujui, pemerintah diharapkan mengatur periode pemberian kompensasi guna menjamin kepastian investasi BUJT.
Terlebih, investasi jalan tol diketahui akan mengalami bleeding pada tahun-tahun pertama dan baru akan mengalami break event point di atas 6 tahun pertama. “Bila disetujui, maunya dilakukan di awal-awal kompensasinya.”
Di sisi lain, ekonom Indef Enny Sri Hartati meminta pemerintah mengalkulasi ulang efektivitas rasionalisasi tarif tol yang diharapkan dapat mengefisienkan biaya logistik, sebelum memutuskan opsi semacam subsidi.
Misalnya, dengan memastikan bahwa penurunan tarif tol sejauh ini memang linier mendongkrak jumlah kendaraan logistik dan niaga atau golongan II dan III untuk menggunakan jalan tol, dan menekan biaya logistik yang selama ini dikeluhkan mahal.
Enny menilai apabila kebijakan rasionalisasi tarif telah memiliki efek terhadap produktivitas dan peningkatan daya saing, rencana pemberian subsidi masih relevan karena beban anggaran dapat dikompensasi dengan pertumbuhan di sektor lainnya untuk menggerakkan ekonomi.
“Kalau memang tidak terbukti, hal itu justru akan berpotensi menambah beban lainnya dalam anggaran pemerintah.”