Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Proyek Kelistrikan Bersumber EBT

Menempatkan pengembangan sumber EBT sebagai prioritas merupakan suatu keniscayaan. Upaya mendongkrak pengembangan pembangkit listrik bersumber EBT sebagai alternatif utama untuk mendorong peran EBT dapat ditemukan alasannya.
Pengunjung beraktivitas di dekat turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, di Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sindereng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (15/1)./JIBI-Abdullah Azzam
Pengunjung beraktivitas di dekat turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, di Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sindereng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (15/1)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA –  Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam rangka hari kemerdekaan dan dalam forum penyampaian keterangan pemerintah atas RAPBN 2019 beserta nota keuangannya pada Sidang Paripurna DPR RI lalu menegaskan kemauan politik pemerintah untuk melaksanakan proyek-proyek kelistrikan dengan sumber energi baru terbarukan (EBT).

Penegasan ini patut disimak karena misinya untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat dan meningkatkan elektrifikasi secara nasional. Terlihat sepele tetapi tentu bukan tanpa pekerjaan berat. Inisiasi legislasi DPR untuk menyiapkan RUU EBT sejauh ini, kendatipun belum menjadi agenda formal, setidaknya dapat menjadi katalisator penting untuk menyiapkan landasan hukum yang lebih kuat dan komprehensif untuk mengawal kemauan politik ini.

Dalam konteks inilah mulai ramainya kembali diskursus publik tentang pengembangan EBT setidaknya dapat menjadi faktor kondusif untuk mengarahkan agenda-setting bagaimana pengelolaan masalah ini harus diatur dalam inisiasi RUU tersebut.

Tidak berlebihan kiranya Indonesia memiliki potensi sumber daya EBT yang besar. Sebagai sumber energi bersih dan dengan emisi yang rendah, pengembangan proyek kelistrikan bersumber EBT juga memiliki tingkat kelayakan yang tinggi secara teknis, sosial-ekonomi, dan lingkungan dalam jangka panjang.

Selain itu, arah Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah jelas menggariskan perubahan paradigma peran EBT dari sekadar sebagai sumber alternatif menjadi pemasok utama ke depan. Dalam perspektif ini, proyeksi pemerintah atas kontribusi tenaga listrik bersumber EBT yang akan digenjot mencapai 12% pada tahun 2025 atau 27% di tahun 2050 bernilai strategis.

Pada tahun 2025, dalam skenario tanpa intervensi, kontribusi EBT di sektor kelistrikan akan mencapai 29 GW atau 63 GW pada tahun 2050. Dalam skenario ini, tambahan kapasitas pembangkit EBT secara total akan mencapai 22 GW selama periode 2016—2025 atau 56 GW dalam periode 2016-2050 (DEN, 2016).

Pertanyaannya, di mana tantangannya! Sebagai gambaran, sampai 2016 dari total kapasitas pembangkit listrik secara nasional sebesar 59.656,30 MW (termasuk sewa dan Independent Power Producer/IPP), peran pembangkit bersumber EBT baru mencapai 11,88% atau 7.081,93 MW.

Data ini tentu menyiratkan beberapa hal penting. Pertama, ruang suplai energi listrik berbasis EBT masih buncit dalam konteks tingginya pertumbuhan konsumsi energi nasional seiring dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan demografis.

Arti penting poin pertama ini dapat dilihat dalam konteks penegasan peran energi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Ketetapan politik pemerintah untuk mengelola melimpahnya potensi penduduk usia produktif akibat fenomena bonus demografi antara tahun 2020 dan 2030 dapat menjadi energi positif untuk menghindari perangkap negara berpendapatan menengah pada tahun 2030.

Tidak hanya itu, energi ini juga sekaligus diarahkan untuk memenangkan persaingan global dan menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju. Dengan demikian, ketahanan energi bukan sekedar tuntutan normatif.

Kedua, masih dominannya peran pembangkit bersumber energi fosil seperti halnya PLTU. Dalam konstelasi seperti ini, diversifikasi sumber pembangkit khususnya yang bersumber EBT menjadi pilihan imperatif. Bukan itu saja, upaya diversifikasi ini juga sekaligus bermakna penting bagi upaya mitigasi iklim global.

Merujuk Paris Agreement, pemerintah telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030 atau 41% dengan bantuan asing pada tahun 2050. Persetujuan Paris yang juga telah diratifikasi dengan UU No. 16 Tahun 2016 menegaskan pentingnya pencapaian target nasional penurunan emisi setiap negara untuk mengatasi perubahan iklim global.

Karena itu, menempatkan pengembangan sumber EBT sebagai prioritas merupakan suatu keniscayaan. Upaya mendongkrak pengembangan pembangkit listrik bersumber EBT sebagai alternatif utama untuk mendorong peran EBT dapat ditemukan alasannya.

Resolusi Politis

Upaya resolutif untuk mendongkrak pengembangan pembangkit listrik bersumber EBT secara normatif mudah dipolakan. Desain politik anggaran dan kerangka hukum pengembangan pembangkit listrik bersumber EBT sedemikian rupa harus memberikan ruang yang sedikit longgar bagi pengembangannya menjadi prasyarat penting dalam konteks ini.

Penetapan salah satu arah belanja negara pada 2019 dalam percepatan pembangunan infrastruktur menjadi katalis penting untuk mendorong kinerja proyek-proyek kelistrikan bersumber EBT. Menuju ke sana, beberapa poin berikut setidak-tidaknya bisa menuntun pengelolaan sejumlah persoalan politik anggaran yang sifatnya struktural.

Pertama, keperluan pembobotan politik anggaran untuk pengembangan infrastruktur kelistrikan prioritas, khususnya bersumber EBT. Untuk mencapai sasaran ini, penegasan ini tentu seharusnya tidak hanya menyasar pada pembangkit listrik 10.000 tahap 1 tetapi juga tahap 2, dan program pembangkitan 35.000 MW.

Artinya, untuk mencapai misi tersebut anggaran infrastruktur yang direncanakan mencapai Rp420,5 triliun dalam RAPBN 2019, sejumlah anggaran signifikan juga perlu diarahkan pada pengembangan energi prioritas ini. Dengan begitu, ia dapat mendorong pihak swasta terjun di dalamnya.

Kedua, penguatan kelembagaan dalam pengelolaan pembangunan infrastruktur kelistrikan bersumber EBT. Luasnya skala program-program kelistrikan berbasis EBT sebagaimana tercantum dalam RUEN, KEN, dan Program 35.000 MW menuntut kelembagaan pengelola yang kredibel dan akuntabel.

Pelembagaan dana ketahanan energi misalnya, untuk sebagian, bisa merefleksikan hal ini. Ketiga, penuntasan pembahasan RUU tentang Energi Terbarukan. Tidak dipungkiri persoalan lambatnya pengembangan pembangkit listrik bersumber EBT terkendala kerangka hukum yang ada.

Inisiasi politik DPR untuk mengagendakan pembahasan RUU tersebut dalam tahun ini menjadi modalitas politik yang penting bagi pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pengembangan proyek-proyek listrik bersumber EBT.

Dukungan politik pemerintah dalam hal ini menjadi penting. Keperluan penajaman politik anggaran pada 2019 untuk menyasar program pembangkitan listrik bersumber EBT yang lebih terkewajawantahkan dalam alokasi anggaran yang representatif pun tidak kalah pentingnya.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (7/9/2018)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper