Bisnis.com, MANADO – Bank Indonesia melihat perbaikan defisit transaksi berjalan dinilai tidak akan signifikan. Tapi, upaya tersebut wajib dilakukan agar defisit tidak melampaui batas psikologis 3%.
Seperti diketahui, defisit transaksi berjalan pada kuartal II/22018 mencapai 3,0% terhadap PDB.
Fadjar Majardi, Kepala Divisi Asesmen Makro Ekonomi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), menuturkan bank sentral berharap defisit transaksi berjalan bisa berada di kisaran 2,5%-3%.
Hal tersebut dimaksudkan agar daya saing pasar keuangan Indonesia tetap menarik di mata investor asing. Pasalnya, investor asing sangat sensitif dengan defisit transaksi berjalan sebagai indikator penilaian keputusan investasinya.
Seringkali, investor hanya melihat posisi defisitnya, bukan struktur keseluruhan defisit transaksi berjalannya.
"Ke depan perbaikannya tidak akan besar, tetapi kalau dibiarkan ada tendensi akan lewat dari 3%," ungkap Fadjar, Jumat (24/8/2018).
Oleh karena itu, BI menaikkan suku bunganya dan pemerintah berupaya menekan 500 barang impor, menerapkan program B20 serta kebijakan fiskal untuk mendorong ekspor, termasuk peningkatan lifting minyak dan produksi batubara.
Seperti diketahui, kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin pada Agustus lalu merupakan upaya menekan defisit transaksi berjalan dan menstabilkan nilai tukar.
Tahun depan, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berada di kisaran 2,5%-3%. Kisaran sama dengan proyeksi defisit transaksi berjalan BI pada tahun ini.
Sementara itu, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual menuturkan banyak institusi hedge funds yang melihat defisit transaksi berjalan sebagai acuan.
"Banyak mereka yang melihat jika defisit transaksi berjalannya berada di atas rata-rata emerging market itu sudah vulnarable," ungkap David.
Transaksi berjalan adalah cerminan kemampuan negara membiayai kebutuhan valuta asing.
Secara tren kerentanan transaksi berjalan, David melihat Indonesia mengalami perbaikan. Hingga 2017, posisi defisit transaksi berjalan Indonesia terus membaik.
Bahkan, perbaikan ini yang menjadi landasan kuat bagi S&P untuk menaikkan rating utang Indonesia pada 2017.
Ke depannya, David melihat kemungkinan adanya perlambatan impor akibat dampak dari naiknya nilai tukar.
"Ini adalah natural adjustment di impor sehingga defisit transaksi berjalannya bisa berkurang," ungkap David.