Bisnis.com, TOKYO - Negara ‘emerging market’, termasuk Indonesia, tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi global dari tren pengetatan moneter sampai krisis Turki. Lalu, tantangan itu pun berujung pada sentimen negatif nonfundamental untuk negara berkembang.
Apalagi, krisis yang menimpa Turki membuat investor melirik ‘emerging market’ dengan pandangan ‘wait and see’, walapun kondisi fundamental ekonomi negara ‘emerging market’ berbeda-beda.
Pada kuartal II/2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan melebar ke level 3% dibandingkan kuartal I/2018 sebesar 2,2%. Meskipun begitu, pertumbuhan ekonomi justru mencatat kenaikan sebesar 5,27% dibandingkan kuartal pertama yang sebesar 5,06%.
Bank Indonesia (BI) bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) melawat ke Jepang pada Senin (20/8/2018) sampai Rabu (21/8/2018) untuk memperbarui informasi terkait perekonomian Indonesia kepada pemangku kepentingan di Negeri Samurai tersebut.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, sebagai salah satu negara ‘emerging market’ yang punya kebutuhan pendanaan dari luar, Indonesia akan terus mengikuti arus pasar global agar tetap bisa kompetitif.
"Menjaga daya saing di pasar global adalah upaya kami untuk bisa menjaga pertumbuhan," ujarnya pada Selasa (21/8/2018) di Asian Development Bank Institute.
Menjaga Daya Saing
Upaya menjaga daya saing itu salah satunya adalah mengerek suku bunga acuan BI seiring tren di pasar global. Terakhir, BI menaikkan 7 days reverse repo rate pada pekan lalu sebesar 25 basis poin.
Sejak Mei 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 125 bps.
Di sisi lain, Federal Reserve (the Fed) sudah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 bps sampai kuartal II/2018.
Negara ‘emerging market’ lainnya juga mulai tancap gas menaikkan suku bunga seperti, Meksiko sebesar 50 bps, Filiphina 50 bps, dan India, Afrika Selatan, dan Malaysia masing-masing sudah menaikkan 25 bps.
Adapun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menyampaikan terkait penyebab dan dampak dari pelebaran defisit transaksi berjalan Indonesia pada kuartal kedua.
"Kenaikan defisit transaksi berjalan itu disebabkan kenaikan permintaan impor produk nonmigas untuk kebutuhan produktif dan konsumtif, kenaikan harga minyak dunia, serta aktivitas perdagangan internasional yang tinggi," ujarnya.
Suahasil melanjutkan, pelebaran defisit transaksi berjalan Indonesia bakal membawa dampak positif untuk jangka panjang.
"Soalnya, impor untuk kegiatan produktif yang mengalami kenaikan. Ini ada hubungannya dengan pembangunan infrastruktur," lanjutnya.
Dia menegaskan, pemerintah Indonesia bakal menjaga pertumbuhan ekonomi lebih stabil.
"Lebih baik stabil ketimbang tumbuh, tetapi tidak stabil," tegasnya.
Setelah bertemu dengan beberapa pemangku kepentingan seperti, lembaga riset, analis, investor, dan Indonesianis di Jepang, hasil pemaparan informasi terkini ekonomi Indonesia itu mendapat respons positif.
Respons Positif
Pada ringkasan atau highlight laporan pertemuan antara Bank Indonesia (BI) bersama Badan Keuangan Fiskal (BKF) dengan dua lembaga rating Jepang, Rating & Investment Information Inc. (R&I) dan Japan Credit Rating Agency Ltd. (JCR), yang diterima pada Selasa (21/08/2018) mendapatkan respons positif.
"Kebijakan bank sentral cukup kuat dan kredibel. Selain itu, koordinasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah juga cukup bagus, hal itu terlihat pada pengendalian transaksi berjalan atau CA [current account]," tulis dalam ringkasan pertemuan antara BI dengan lembaga rating asal Negeri Samurai tersebut.
Kedua lembaga rating Jepang itu pun baru saja menaikkan Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia. JCR menaikkan rating Indonesia dari BBB-/Outlook Positif menjadi BBB/Outlook Stabil pada Februari 2018, sedangkan R&I menaikkan rating dari BBB-/Outlook Positif menjadi BBB/Outlook Stabil pada akhir kuartal pertama tahun ini.
Pertemuan antara BI dengan dua lembaga rating Jepang itu dilakukan pada Senin (20/8/2018) pagi. Namun, sifat pertemuan terbatas untuk kedua pihak saja.
Lalu, hasil pertemuan dengan investor Jepang bersifat tertutup, sedangkan pertemuan dengan analis bersifat off the record.
Di sisi lain, investor Jepang memang tengah wait and see untuk berinvestasi di negara 'emerging market' seperti, Indonesia.
Investor ‘Wait and See’
Duta Besar Indonesia untuk Jepang Arifin Tasrif mengakui bahwa sampai akhir semester pertama tahun ini investor Jepang cenderung ‘wait and see’ kepada Indonesia.
"Mereka [Investor Jepang] butuh kepastian dan pertumbuhan yang stabil. Untuk itu, Indonesia perlu menjaga pertumbuhan investasi dan perdagangan," ujarnya.
Walaupun masih ‘wait and see’, usaha kecil menengah (UKM) Jepang dikabarkan 'ngebet' investasi di Indonesia, tetapi masih ada beberapa aturan yang mengganjal masuknya pengusaha UKM Jepang tersebut.
Arifin pun mengiyakan hal itu, pihaknya pun melayani pertanyaan dari para pengusaha Jepang yang tetarik berinvestasi di Indonesia.
"Intinya, kami tidak ingin sampai mereka putus asa. Kami akan memberikan kesan kalau Indonesia itu negeri yang ramah investor," ujarnya.
Selain itu, dia juga bercerita ada banyak investor Jepang kerap mengadu ke Kedubes Indonesia seiring perubahan kebijakan tanpa sosialisasi.
"Selain itu, banyak juga pertanyaan dari investor Jepang terkait mengurus sertifikat lahan sampai perpajakan. Kami pun harus melayani mereka agar tidak pindah ke negara tetangga," ujarnya.
Nah, dengan begitu, apakah ada sinyal Jepang akan meningkatkan investasinya di Indonesia? Apalagi pada tahun ini ada momentum 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia - Jepang.