Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Harus Mewaspadai Pelarian Modal

Pemerintah diminta untuk mewaspadai risiko pelarian modal akibat naiknya tingkat suku bunga AS Fed Fund Rate (FFR) sebagai respon dari perekonomian AS yang terus membaik.
Uang lira Turki./Reuters-Murad Sezer
Uang lira Turki./Reuters-Murad Sezer

Bisnis.com, JAKARTA --Pemerintah diminta untuk mewaspadai risiko pelarian modal akibat naiknya tingkat suku bunga AS Fed Fund Rate (FFR) sebagai respon dari perekonomian AS yang terus membaik.

Ekonom Indef Dzulfian Syafrian mengungkapkan Indonesia dan Turki sama-sama mengalami defisit ganda, yaitu defisit fiskal dan defisit neraca pembayaran.


"Defisit ganda ini lah yang menjadi alasan struktural dan fundamental mengapa rupiah terus melemah," ungkapnya kepada Bisnis, Kamis (16/8/2018).


Menurutnya, defisit neraca pembayaran disebabkan utamanya oleh arus modal keluar dari Indonesia ke Amerika Serikat. "Dollar balik ke kandangnya," begitu istilahnya.


Lebih konkret, lanjutnya, pelarian modal ini disebabkan oleh terus merangkak naiknya tingkat suku bunga AS Fed Fund Rate (FFR) sebagai respon dari perekonomian AS yang terus membaik.


Peristiwa ini tambahnya, tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga negara-negara emerging markets lainnya, termasuk Turki. Bahkan lanjutnya, Turki mengalami pelarian modal yang paling parah, tercermin dari defisit neraca pembayarannya yang mencapai 5% dari PDB.


"Itu lah mengapa mata uang Turki, yaitu Lira, mengalami pelemahan paling parah terhadap dollar AS pada 2018 ini," simpulnya.

Menurutnya, salah satu penyebab utamanya adalah blunder kebijakan yang dilakukan Turki.

Selama beberapa bulan Turki enggan menaikkan suku bunganya, meskipun inflasinya selalu dua digit dan mata uang mereka terus melemah.

Turki, jelasnya, memaksakan rezim suku bunga rendah karena masih ingin mengundang investasi asing untuk masuk di negerinya, padahal hal ini sulit mengingat pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan oleh AS.

"Jadi, krisis Lira ini adalah buah dari blunder kebijakan ekonomi" jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper