Bisnis.com, JAKARTA — Revisi harga pembelian pemerintah untuk gabah mendesak dilakukan untuk menjembatani ketimpangan antara harga beras di tingkat konsumen yang terus naik dengan nilai tukar petani yang cenderung melandai.
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perppadi) Sutarto Alimoeso menilai, harga gabah kering panen (GKP) yang dibeli oleh pemerintah melalui skema harga pembelian pemerintah (HPP) sangatlah rendah. Pasalnya, dia menilai tarif tersebut tak lagi sesuai dengan kondisi di lapangan.
Untuk itu, dia meminta agar pemerintah merevisi HPP yang tertulis dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015. Dalam aturan tersbeut, HPP GKP di tingkat petani dipatok Rp3.700/kg, dan di tingkat penggilingan Rp3.750/kg.
Sementara itu, HPP untuk gabah kering giling (GKG) ditentukan seharga Rp4.600/kg dan gabah kering giling di Bulog dihargai Ro4.650/kg. Selanjutnya untuk beras di Bulog ditetapkan sebesar Rp7.300/kg.
“Sekarang dilihat saja, pupuk dari swasta naik terus. Belum lagi obat macam pestisida yang juga kebanyakan diimpor dan harganya sangat terpengaruh nilai tukar rupiah. Lalu bahan bakar minyak yang juga terus naik. Jelas memengaruhi di tingkat petani,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (8/8/2018).
Dia melanjutkan, harga pembelian gabah oleh pengusaha swasta relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga yang ditawarkan Bulog. Namun demikian, perbandingan harga dari sektor swasta dan Bulog tidak terlalu jauh, sehingga margin keuntungan yang diperoleh petani juga tidak terlalu tinggi.
Alhasil, lanjutnya rentang perbedaan antara indeks harga yang diterima petani (it) dengan indeks harga yang dibayar petani (ib) tidak terlalu jauh, dalam komponen penyusun nilai tukar petani (NTP).
PENGHASILAN PETANI
Ekonom Indef Bustanul Arifin menilai, tidak berubahnya HPP gabah membuat penghasilan petani tidak tumbuh secepat kenaikan harga beras di tingkat konsumen, kendati sempat muncul wacana harga eceran tertinggi (HET) beras medium maupun premium akan direvisi oleh Kementerian Perdagangan.
“Konsekuensinya, apabila inflasi pedesaan kembali jeblok, maka NTP akan menjadi korban. Sebab jika melihat tren yang ada saat ini inflasi pedesaan cukup tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statisktik (BPS) inflasi pedesaan pada Juli 2018 sebesar 0,82%, dipicu oleh naiknya indeks di seluruh kelompok penyusun indeks kebutuhan rumah tangga (IKRT).
Bustanul pun mengatakan, lumbung padi di tingkat petani tidak selamanya cukup utnuk memenuhi kebutuhan keluarga hingga masa panen berikutnya, terutama pascamusim kering atau gangguan. Akibatnya, petani harus kembali membeli beras di tengkulak dengan harga pasar.
Sementara itu, Ketua Umum Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa juga mendukung adanya revisi pada HPP. Pasalnya harga gabah kering panen sepanjang tahun ini selalu berada di atas level Rp3.700.
Ketidakseimbangan Daya Beli Konsumen dan Produsen
Nilai tukar petani (NTP) di Indonesia relatif melandai dalam beberapa tahun terakhir, kendati masih di atas level 100. Namun, fenomena tersebut berbanding terbalik dengan harga produk pertanian paling pokok (beras) yang terus terkerek di tingkat konsumen dari tahun ke tahun. Ada apa sebenarnya? Apa yang salah dengan fenomena tersebut?
Perkembangan Rerata Harga Beras
----------------------------------------
Tahun: Rp/kg:
----------------------------------------
2013 8.941,02
2014 9.637,88
2015 10.915,13
2016 11.511,34
2017 11.534,93
Januari—Juli 2018 12.115,75
----------------------------------------
Perkembangan Nilai Tukar Petani*
----------------------------------------
Tahun: NTP:
----------------------------------------
2013 104,92
2014 102,03
2015 101,59
2016 101,65
2017 103,06
Juli 2018 101,66
----------------------------------------
*) Ket: NTP > 100 berarti petani mengalami surplus. Harga komoditas pertanian naik lebih besar dari kenaikan harga barang/jasa konsumsi dan biaya produksi.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), diolah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel