Bisnis.com, JAKARTA – Sistem pertukaran data elektronik (PDE) manifes (dokumen muatan barang) yang terus disempurnakan Ditjen Bea Cukai melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 158/2017 akan dapat memperbaiki kinerja logistik Indonesia.
PMK 158/2017 mengatur tentang penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), mengatakan Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada 2018 sudah membaik, naik 17 tingkat dalam 2 tahun, menjadi peringkat ke-46 dari 160 negara.
Peringkat LPI Indonesia yang dirilis Bank Dunia 2016 lalu sempat melorot dari posisi 53 dengan skor 3,08 menjadi peringkat 63 dengan skor 2,98.
Dari semua indikator LPI ini, kata Yukki, skor tertinggi Indonesia adalah indikator ketepatan waktu dengan 3,67 poin di posisi ke-41, sedangkan indikator pabean mendapat nilai terendah dengan 2,67 poin, berada di posisi ke-62 dari semua negara yang disurvei.
“Dengan kebijakan baru PMK 158/2017, saya yakin indikator pabean akan lebih baik, sehingga LPI Indonesia pada akhir 2019 setara dengan negara tetangga, bahkan bisa lebih baik lagi,” tutur Yukki kepada Bisnis pada Senin (6/8/2018).
Dia mengemukakan hal itu menanggapi evaluasi PMK 158/2017 yang dibahas antarasosiasi seperti ALFI dan Indonesian National Shipowners Association (INSA) dengan Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan di Jakarta pada Senin untuk sektor angkutan laut.
Adapun, di sektor angkutan udara dijadwalkan dibahas Ditjen Bea dan Cukai pada Selasa (7/8/2018) di antaranya dengan Indonesia National Air Carriers Association (INACA), International Air Transport Association (IATA), ALFI, dan PT Angkasa Pura II.
Sistem PDE manifes yang baru tersebut, lanjut Yukki, memungkinkan perusahaan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) sebagai non-vessel operating common carrier (NVOCC) dapat mengakses langsung ke sistem di Bea Cukai dan Indonesia National Single Window (INSW) dalam memasukkan data barang impor/ekspor secara elektronik.
Sebelumnya, freight forwarding untuk melakukan perubahan maupun perbaikan dokumen impor dan ekspor secara elektronik harus melalui perusahaan pelayaran dan maskapai penerbangan.
“Kebijakan ini sudah sesuai dengan kesepakatan Asean di bidang logistik,” kata Yukki yang juga Ketua Asean Federation of Forwarders Association (AFFA).
ALFI, ujarnya, menyambut baik evaluasi kebijakan tersebut sebelum diberlakukan secara penuh, sehingga bila diberlakukan secara penuh nantinya tidak mengganggu proses ekspor impor. “Selain itu, sistem PDE manifes juga harus dapat diintegrasikan dengan Asean Single Window (ASW).”
Dia menambahkan upaya Ditjen Bea dan Cukai tersebut perlu diikuti kementerian dan lembaga pemerintah terkait, yang terlibat dalam proses perdagangan internasional (ekspor dan impor) sebab kegiatan ekspor dan impor melibatkan 15 kementerian dan tiga lembaga negara.
Yukki menyatakan kebijakan Bea Cukai yang mengarah kepada trade facilitation sudah tepat, sehingga dapat mempercepat proses impor dan ekspor. “Perdagangan internasional akan terakselerasi dengan baik.”
Namun, lanjutnya, dalam hal ini kepedulian instansi Bea Cukai saja tidaklah cukup, melainkan harus juga diikuti kementerian lainnya terutama Perhubungan; Perdagangan; Perindustrian; Pertanian; Kelautan dan Perikanan; Kehutanan; Kesehatan; Kemenhankam; Kominfo; Kemen Lingkungan Hidup; kemudian institusi seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten); Polri; Bank Indonesia; Badan Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan; serta Badan Pengawas Obat dan Makanan.