Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha perunggasan, khususnya ayam, berharap pemerintah bisa lebih akurat dalam mengeluarkan prediksi kebutuhan demi menghindari fluktuasi harga yang tidak terkendali di pasar.
Sekretaris Jendral Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Chandra Gunawan mengatakan pemerintah sudah mengubah kebijakan dari supply driven menjadi demand driven sejak 2015 yang membuat pasokan ke pasar tergantung dari permintaan.
Hal tersebut dilakukan karena mempertimbangkan besarnya populasi ayam yang tidak seimbang dengan kondisi pasar. Kapasitas produksi ayam bahkan diprediks bisa memenuhi kebutuhan hingga 4—5 tahun.
"Pemerintah mengambil kebijakan [demand driven] menjaga keseimbangan supaya tidak terbuang. Sehingga terjadi penurunan populasi, tujuannya supaya peternak mengalami keuntungan," katanya pada Kamis (26/7).
Menurutnya, kebijakan itu kemudian menguntungkan peternak karena harga tidak lagi anjlok. Namun, saat perhitungan permintaan sedikit saja meleset, harga di pasar jadi melambung.
"Dengan demand-driven, perhitungan harus tepat. Faktor-faktor apa saja yang harus masuk ke komponen itu, [sebagai] faktor pengaman. Karena kalau hitungannya terlalu pas [mepet], saat ada masalah bisa terjadi shortage. Seperti kemarin libur lama banget, otomatis demand naik. Itu pengaruh sekali,"jelas Chandra.
Selain itu, tambahnya, ayam adalah barang hidup yang tidak bisa dipaksa meningkatkan produksi dalam satu kurun waktu secara mendadak.
Sementara itu, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian Sugiyono mengatakan bahwa dalam penerapan kebijakan demand driven, pemerintah sudah menganjurkan supaya pelaku usaha memiliki cold storage yang dapat menyimpan hasil produksi dalam waktu lama.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan kesiapan tambahan pasokan sebesar 20% supaya harga tidak fluktuatif.