Bisnis.com, JAKARTA — Revisi Permendag No.27/2017 dinilai mendesak dilakukan, khususnya untuk harga acuan telur di tingkat peternak ayam petelur (layer) dan harga jual di tingkat konsumen.
Permendag No.27/2017 tersebut mengatur penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di konsumen untuk berbagai komoditas pangan, seperti beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng curah, bawang merah, daging sapi dan ayam, serta telur ayam.
Dalam paparan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) yang dilansir Selasa (24/7), pemerintah disarankan segera menaikkan harga acuan telur di tingkat peternak dari Rp18.000/kg menjadi Rp21.000/kg—Rp21.500/kg.
Adapun, harga acuan telur ayam di tingkat konsumen disarankan untuk naik dari Rp22.000/kg menjadi Rp25.000/kg—Rp25.500/kg.
Ketua Pataka Yeka Hendra Fatika menjelaskan, saat ini struktur biaya produksi peternak, terutama layer skala kecil sudah meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan tahun lalu.
“Dengan revisi harga acuan tersebut, harga di tingkat konsumen juga diharapkan naik, sehingga dapat mengikuti margin distributor yang ditetapkan sebelumnya, yakni Rp4.000/kg,” jelasnya dalam paparan tersebut.
Dia menjelaskan hal-hal yang memengaruhi fluktuasi harga telur saat ini adalah peningkatan risiko usaha peternak layer dan penurunan produktivitas telur akibat berbagai penyakit, sehingga biaya rata-rata pakan per butir telur mengalami peningkatan.
Selain itu, lanjutnya, kasus kematian ayam mengakibatkan nilai penyusutan aset ayam petelur (pulet) mengalami peningkatan. Penyebab lainnya adalah penguatan dolar AS terhadap rupiah yang berimplikasi pada kenaikan harga pakan, bibit, dan obat-obatan.
BELUM MENGKHAWATIRKAN
Menurut Yeka, kenaikan harga telur ayam yang terjadi di tingakt konsumen belakangan ini sebenarnya belum menyentuh ambang batas mengkhawatirkan. Pasalnya, rerata harga telur di Indonesia saat ini masih dikategorikan sebagai ‘harga paling murah’ di dunia.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data Numbeo pada Juli 2018, harga telur di Thailand mencapai Rp29.500/kg, di Singapura Rp36.300/kg, di China Rp30.744/kg, di Brasil Rp30.409/kg, di AS Rp45.400/kg, sedangkan di Prancis Rp57.346/kg.
Peternak telur dari Asosiasi Pinsar Petelur Nasional (PPN) Hidayat juga berpendapat revisi harga acuan telur harus disegerakan. “Memang harusnya direvisi, bahkan revisi tersebut seharusnya dilakukan empat bulan sekali.”
Menurut penjelasannya, biaya produksi dari peternak ayam petelur sudah naik tajam seiring dengan meroketnya harga day old chick (DOC) atau bibit ayam berusia 1 hari, harga jagung pakan, dan harga konsentrat.
Di sisi lain, Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri berpendapat konsep harga eceran tertinggi (HET) sejak awal memang merugikan. Seharusnya, kebijakan pemerintah difokuskan untuk meningkatkan produksi domestik.
“Produksi menurun dikarenakan kebijakan pelarangan antibiotic growth promoter [AGP], yang pada akhirnya menyebabkan lebih cepatnya perkembangan penyakit pada ayam petelur,” tegasnya.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kementerian Perdagangan Ninuk Rahayuningrum mengatakan, kebijakan penetapan harga acuan ditujukan untuk melindungi konsumen kelas menengah ke bawah, yang porsinya mencapai 80% dari total penduduk.
"Itu [penetapan harga acuan] ditujukan untuk menengah ke bawah, kalau orang kaya mau harganya Rp50.000 per kg juga tidak ada masalah, itu lebih pada upaya perlindungan," katanya.
Adapun, ekonom Indef Rusli Abdullah menjelaskan, rekomendasi untuk menaikkan harga acuan telur berpotensi memacu inflasi lebih tinggi. "Itu rekomendasi yang disampaikan, kenaikan sekitar 19%, artinya cukup signifikan untuk mendorong inflasi," katanya.
Terlebih, telur bukan hanya komoditas yang digunakan untuk untuk makan pokok, tetapi juga digunkan untuk membuat makan-makanan ringan lainnya. Selain itu, keniakan harga telur juga berpotensi menaikkan tingkat kemiskinan masyarakat kembali.