Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah harus mengembangkan industri hulu sektor petrokimia dalam 3--5 tahun mendatang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, mengatakan industri hulu sektor ini penting untuk dikembangkan karena memiliki banyak industri turunan. Selain itu, hingga kini industri dalam negeri banyak mengimpor minyak mentah sebagai bahan baku.
Kendati merupakan industri strategis, hingga kini pemerintah dinilai belum melakukan tindakan nyata untuk mengembangkan industri hulu petrokimia.
"Dalam 3--5 tahun ke depan, pemerintah harus mulai membenahi industri hulu petrokimia, yaitu refinery, melalui holding yang dimiliki. Kalau bahan baku bisa tersedia, mau nilai tukar naik, industri sudah lebih kuat," ujarnya di Jakarta, Jumat (20/7/2018).
Dia pun menyoroti BUMN yang bergerak di sektor ini, Pertamina, lebih banyak mengurusi sektor hilir dan melupakan pengembangan industri hulu. Seharusnya, lanjut Widjaja, Pertamina bisa mengintegrasikan bisnisnya dari hulu ke hilir. Selain menyalurkan bahan bakar minyak untuk masyarakat, perusahaan ini juga bisa menyalurkan bahan baku untuk industri petrokimia nasional.
"Harusnya sejak 10-15 tahun lalu sudah ada kerja sama dengan negara sumber crude oil untuk mengembangkan refinery," katanya.
Dia menambahkan, apabila pemerintah serius membenahi industri hulu, terutama di sektor petrokimia, pertumbuhan ekonomi nasional bisa meningkat hingga mencapai 7%--8%. Hal ini disebabkan industri pengolahan merupakan penyumbang utama produk domestik bruto (PDB) dengan kontribusi sebesar 20,16% sepanjang tahun lalu.
Selain itu, pengembangan sektor hulu akan mengurangi beban impor yang bisa menyebabkan defisit neraca perdagangan, terlebih dengan kondisi pelemahan nilai tukar seperti saat ini.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Suhat Miyarso. Dia mengatakan industri petrokimia perlu terintegrasi dengan refinery atau kilang minyak untuk menjaga keberlangsungan bisnis.
Di banyak negara, industri petrokimia terintegrasi dengan kilang minyak sebagai pemasok bahan baku. Namun, di Indonesia, industri petrokimia belum ada integrasi bisnis dan masih mengimpor sebagian besar bahan baku berupa nafta dari luar negeri.
"Kalau ingin sustainable harus ada integrasi vertikal dengan refinery," ujarnya.
Saat ini di Indonesia hanya ada perusahaan pengelola kilang minyak, yaitu Pertamina. Perusahaan milik negara tersebut saat ini memprioritaskan memproduksi bahan bakar minyak (BBM) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan nafta industri petrokimia.
Suhat menyatakan pihaknya mendorong Pertamina untuk mendirikan 3 refinery supaya dapat memasok nafta ke industri. Pertamina dapat memasok kebutuhan nafta industri nasional apabila menambah 3 kilang baru dengan kapasitas masing-masing kilang sebesar 300.000 barrel per hari.
Menurutnya, biaya logistik bahan baku dari luar negeri menambah beban produksi. "Kalau kami bisa dapat dari Pertamina kan lebih dekat dan lebih murah," katanya.
Lebih jauh, Suhat menuturkan apabila pabrik kedua Chandra Asri telah selesai dibangun, bahan baku nafta tetap diimpor dari negara-negara penghasil minyak, seperti Arab Saudi dan Bahrain. Apabila Pertamina bisa memproduksi nafta untuk industri, emiten dengan kode saham TPIA bisa mengalihkan sumber bahan baku ke dalam negeri.
Chandra Asri sendiri sedang memproses perizinan pendirian pabrik naphtha cracker kedua yang ditargetkan rampung dalam 3 tahun mendatang. Kebutuhan nafta 2 pabrik perseroan tersebut diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun.
Selain integrasi dengan pemasok bahan baku, Suhat berpendapat industri petrokimia juga perlu mendiversifikasi produk serta mengembangkan research and development.