Bisnis.com, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Pieter Jasman menilai depresiasi rupiah terhadap dolar AS cukup mengerek ekspor, meskipun tidak terlalu berdampak pada industri kakao karena transaksi jual maupun beli umumnya sudah memakai mata uang dolar.
"Dampaknya lebih pada petani karena penghasilan merkea jadi lebih tinggi dan ini diharapkan bisa meningkatkan semangat mereka untuk tingkatkan produksi kakao," ujarnya saat dihubungi, Minggu (8/7/2018).
Berdasarkan data AIKI, total volume ekspor komoditas kakao dari Januari hingga Maret tahun ini mencapai 89.401 ton meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 77.070 ton.
"Jika dilihat dari data ekspor hingga Maret, kemungkinan besar kapasitas industri pada tahun ini akan naik 10%. Tahun lalu kapasitasnya sebesar 465.000 ton," katanya.
Menurutnya, kenaikan tersebut disebabkan karena harga kakao pada tahun lalu hingga awal tahun ini mengalami penurunan yang besar sehingga mendorong konsumsi naik. Awal 2018, harga kakao menyentuh US$2.000, tetapi saat ini harga sudah meningkat ke US$2.465.
"Ditambah lagi dengan kondisi iklim di beberapa negara yang dinginnya ekstrim sehingga konsumsi cokelat naik untuk hangatkan tubuh," ucapnya.
Sementara itu, terkait dengan adanya perang dagang antara Amerika dan China, pihaknya tak khawatir karena tak berdampak pads ekspor kakao. Pasalnya kedua negara tersebut merupakan konsumen cokelat.
"Mereka membutuhkan pasokan kakao olahan dari Indonesia. Malah dengan perang dagang ini kemungkinan konsumsi cokelat mereka akan naik karena konsumsi cokelat bisa mengurangi stress," tutur Pieter.