Bisnis.com, JAKARTA -- Kendati proses negosiasi yang melibatkan Pemerintah Indonesia, PT Inalum (Persero), dan Freeport-McMoRan Inc., telah mencapai tahap akhir, hasil perundingan divestasi PT Freeport Indonesia masih belum bisa ditebak.
Pada Kamis (5/7/2018), sejumlah petinggi Freeport termasuk Chief Financial Officer (CFO) Freeport-McMoRan Kathleen L. Quirk, Direktur & EVP PT Freeport Indonesia Tony Wenas, dan Direktur Freeport Indonesia Clementino Lamury mendatangi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Rombongan tiba sekitar pukul 14.00 WIB. Setengah jam kemudian pertemuan dengan pihak Kementerian ESDM dilangsungkan.
Pertemuan tersebut berakhir sekitar pukul 16.30 WIB dan pihak Freeport pun langsung meninggalkan Kementerian ESDM.
Tidak banyak yang diungkapkan oleh pihak Freeport usai pertemuan tersebut. Tony hanya mengungkapkan harapannya bahwa negosiasi bisa selesai dalam waktu dekat.
"Mudah-mudahan," katanya.
Setali tiga uang, pihak Kementerian ESDM pun bungkam terkait pertemuan tersebut. Kepala Biro Hukum yang terlihat meninggalkan tempat pertemuan pun enggan berbicara.
Meskipun begitu, datangnya direksi Freeport-McMoRan ke Indonesia menjadi sinyal bahwa perundingan tengah berada pada titik yang krusial. Asal tahu saja, cukup jarang direksi dari induk usaha Freeport Indonesia tersebut datang langsung ke Indonesia.
Kehadiran Quirk ke Indonesia pun seperti menjadi pembuka jalan bagi CEO Freeport-McMoRan Richard C. Adkerson untuk mengambil keputusan terakhir nantinya.
Pihak Inalum yang terlebih dahulu mengungkapkan bahwa negosiasi sudah pada tahap akhir. Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin bahkan secara jelas mengungkapkan perundingan sudah sangat maju dan tengah membahas masalah hak dan kewajiban (terms & condition) masing-masing pihak setelah divestasi saham Freeport Indonesia hingga 51% selesai.
Hak dan kewajiban tersebut mengerucut pada masalah kontrol manajemen. Hal tersebut tampaknya menjadi salah satu fokus dalam negosiasi.
Pascadivestasi, masalah operasional pertambangan sepertinya akan dipegang oleh pihak Freeport. Namun, melihat komposisi kepemilikan saham, pihak Indonesia akan sangat wajar apabila memegang kontrol utama dalam manajemen Freeport Indonesia.
Adapun isu lainnya yang relatif sudah terselesaikan adalah pembangunan smelter, stabilitas investasi melalui kepastian hukum dan fiskal, serta perpanjangan operasi dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Meskipun, kini mengemuka masalah lingkungan yang perlu juga diselesaikan.
Pemerintah pun memberikan waktu tambahan untuk negosiasi selama 1 bulan dengan memperpanjang IUPK Freeport Indonesia hingga 31 Juli 2018.