Bisnis.com, JAKARTA - Harga batu bara acuan (HBA) mengawali semester II/2018 dengan mencetak rekor tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, HBA Juli 2018 ditetapkan senilai US$104,65 per ton atau naik 8,32% dari HBA Juni 2018 senilai US$96,61 per ton.
Nilai HBA bulan ini tercatat jadi yang tertinggi sejak April 2012. Kala itu HBA menyentuh angka US$105,61 per ton.
Hasil itu pun kian memperkuat rata-rata HBA sepanjang tahun ini yang sekarang berada di level US$97,66 per ton.
Rata-rata tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata HBA tahun lalu senilai US$85,92 per ton, apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata HBA pada 2016 yang hanya senilai US$61,84 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan ada beberapa faktor yang mendorong HBA pada bulan ini. Permintaan batu bara untuk pasar China menjadi yang utama.
"Ada kenaikan permintaan batu bara di Eropa Utara dan China. Pasar energi global juga relatif membaik," katanya, Kamis (5/7/2018).
Dia menjelaskan peningkatan permintaan batu bara jauh melebihi ketersediaan pasokan pada bulan lalu. Hal tersebut disebabkan ketidakmampuan Australia untuk meningkatkan produksinya dengan cepat.
"Ekspor batu bara dari tiga eksportir utama ke Asia juga cenderung flat pada periode Januari-Juni 2018," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan pasar batu bara masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah China. Menurutnya, selama kebijakan pembatasan produksi batu bara dari China berlaku, komoditas tersebut kemungkinan besar bakal terus berada dalam tren positif.
Hendra menilai semua pihak tetap perlu waspada. Pasalnya, kebijakan pemeritah China bisa saja berubah sewaktu-waktu.
"Memang sulit untuk memprediksi kebijakan yang akan diambil pemerintah China," katanya.
Seperti diketahui, pada 2016, China mengurangi hari kerja untuk penambang batu bara dari 330 hari per tahun menjadi 276 hari per tahun.
Selain itu, China juga berencana menutup lebih dari 1.000 tambangnya serta mengurangi kapasitas produksinya sebanyak 500 juta ton selama tiga hingga lima tahun ke depan. Langkah tersebut diharapkan mampu menekan surplus pasokan yang diperkirakan mencapai 2 miliar ton per tahun.
Hasilnya, harga batu bara terus menguat kala itu. Namun, di awal 2017, produksi dari China mulai ditingkatkan kembali, sehingga kenaikan harga batu bara tidak setinggi semester II/2016.