Bisnis.com, JAKARTA - Industri alat kesehatan di Tanah Air sulit untuk mencatatkan pertumbuhan yang tinggi mengingat kecilnya margin di sektor ini.
Sugihadi, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, menuturkan saat ini rata-rata pertumbuhan industri alkes baru 5%.
Terhambatnya pertumbuhan disebabkan dunia usaha tidak diberi ruang margin yang cukup agar berubah dari importir menjadi manufaktur lokal.
“Kalau usaha kami sangat minimal untuk berkembang, bagaimana kami bisa berubah dari importir ke produsen,” katanya belum lama ini.
Selain itu, pengusaha juga harus dihadapkan dengan risiko pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin dapat menggerus margin.
“Keuntungan kami terpangkas sampai 20% akibat selisih kurs,” kata Kartono Dwidjosewojo, Ketua Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), Rabu (4/7).
Menurutnya, produsen alat kesehatan (alkes) sudah berkontrak dengan pemerintah sejak awal tahun lalu. Setelah kontrak ditandatangani, proses pengadaan dimulai dengan melakukan impor, baik itu bahan baku untuk kemudian diolah di Indonesia, maupun alat jadi.
“Alat-alat kesehatan ini akan datang pada Juli-Agustus ini. Kami minta LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) membuka ruang negosiasi yang luas,” katanya.
Kartono menyatakan, setiap anggota asosiasi akan mengirimkan surat kepada lembaga negara itu untuk melakukan penetapan harga ulang sesuai dengan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat saat ini.
Melemahnya nilai tukar rupiah hingga awal Juli 2018 ini di luar perkiraan pengusaha alkes. Akibatnya, sejumlah pengusaha alat kesehatan memilih menunggu sampai gejolak nilai tukar mereda agar produk yang mereka jual dapat diterima pasar.
“Kalau ini dibiarkan dan tidak ada dukungan pemerintah, bukan tidak mungkin usaha anggota harus tutup dan memberhentikan pekerjanya mulai awal tahun depan,” imbuh Kartono.