Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyerukan kepada dunia internasional agar mengikuti jejak Indonesia melarang alih muatan di tengah laut alias transshipment.
Gagasan itu dikemukakan Indonesia di tengah pertemuan tingkat tinggi ekonomi kelautan (high level panel) di Oslo, Norwegia. Sejumlah perwakilan negara-negara hadir dalam pertemuan itu, seperti Norwegia, Jepang, Australia, Portugal, Meksiko, Palau, Fiji, Chile, dan Namibia. Ide larangan transshipment di laut lepas (high sea) dipandang relevan dengan tema pertemuan 'ekonomi laut berkelanjutan' yang turut membahas isu overfishing dan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF).
"Banyak tindak pidana penyelundupan dan kejahatan lainnya terjadi di laut lepas ini karena tidak ada larangan melakukan transhipment," katanya melalui keterangan resmi, Senin (25/6/2018).
Menurut dia, apabila transshipment masih terus terjadi, maka perjanjian internasional Port State Measures Agreement (PSMA) sebagai perangkat hukum internasional tidak akan berjalan efektif karena banyak kapal ikan tidak bersandar di pelabuhan (porting). Alhasil, PSMA bakal tidak terlalu memberikan manfaat bagi negara pelabuhan (port states) dalam mencegah IUUF.
Indonesia sendiri telah melarang transshipment sejak November 2014 melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 57/Permen-KP/2014 tentang Perubahan Kedua Permen KP No 30/Permen-KP/2012. Susi saat itu beralasan transshipment selama ini menjadi modus pencurian ikan dengan memindahkan muatan di tengah laut, lalu mengangkutnya ke luar negeri.
Namun pada April 2016, larangan transhipment diperlonggar melalui penerbitan Peraturan Dirjen Perikanan Tangkap No 1/Per-DJPT/2016. Pemerintah mengizinkan transhipment secara terbatas. Sistem penangkapan ikan dalam satu-kesatuan operasi pun diperkenalkan. Pemerintah juga memunculkan terminologi kapal penyangga untuk menggantikan kapal pengangkut. Sistem tersebut membatasi tiga kapal penangkap ikan dan satu kapal penyangga dalam satu-kesatuan operasi. Kapal penyangga nantinya membawa ikan ke pelabuhan pendaratan ikan.
Susi juga mengkritisi banyaknya komitmen yang dibuat negara-negara, tetapi minim implementasi di lapangan. Menurut dia, komitmen penyelamatan laut yang banyak merupakan hal positif sebagai wujud peningkatan kesadaran negara.
Namun, ungkap dia, ada kekhawatiran komitmen yang dibangun tidak berdasarkan pada common platform atau konsensus bersama untuk merespon permasalahan pokok yang sedang dihadapi. "Yang terjadi adalah overcommitted tidak berdampak pada perbaikan kondisi laut dunia," ungkapnya.