Bisnis.com, JAKARTA -- Payung hukum terkait praktik transfer kuota batu bara akan disusun setelah ada kesepakatan di antara para produsen batu bara terkait mekanismenya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan pihaknya masih menunggu usulan detail soal mekanisme transfer kuota tersebut dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Menurutnya, Kementerian ESDM tidak ingin membuat payung hukum terlebih dahulu agar keputusan yang diambil tidak dianggap sepihak.
Dia menuturkan ada beberapa kemungkinan terkait ketentuan transfer kuota tersebut. Salah satunya adalah membatasi harga jual per ton untuk batu bara yang ditransfer.
"Biar mereka [produsen] berbicara sendiri dulu. Kalau sudah ketemu, nanti landasan hukumnya apa baru kita terbitkan," ujarnya, Senin (28/5/2018).
Pembahasan tersebut akan akan difasilitasi APBI dengan melibatkan perusahaan yang memiliki kemampuan pemenuhan DMO berlebih dan yang masih kekurangan. Adapun seluruh perusahaan diwajibkan memasok minimal 25% dari produksinya untuk kepentingan dalam negeri.
Namun, Bambang menjelaskan tidak semua perusahaan memilki kemampuan yang sama. Pasalnya, spesifikasi batu bara yang dimiliki masing-masing perusahaan beragam.
"Secara nature tidak semua perusahaan punya batu bara yang spesifikasinya dibutuhkan PLN. Yang kalorinya 7.000 [kkal/kg] mana ada yang mau beli," tuturnya.
Sementara itu, Ketua APBI Pandu P. Sjahrir mengatakan pihaknya sudah mengusulkan agar mekanisme transfer kuota tersebut dilakukan secara business to business (B to B). Dia mengungkapkan, kendati bakal dilakukan secara B to B, pemerintah meminta agar ada batas atas untuk harga batu bara yang ditransfer.
"Pemerintah minta harga atas supaya sama. Kalau ada harga atas silakan mau propose berapa," tuturnya.
Adapun APBI telah menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi kegiatan tersebut. Hal tersebut menjadi bagian dari dukungan pemenuhan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya ke pembangkit listrik.
Meskipun begitu, hal tersebut tidak akan mudah dilakukan. Pasalnya, APBI bakal dihadapkan dengan perbedaan pandangan di antara produsen batu bara.
Sebelumnya, Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan praktik transfer kuota bakal sulit dilakukan, khususnya dari sisi pengawasan.
Dia pun menilai seharusnya kewajiban DMO tidak dipukul rata seperti sekarang ini, yakni 25% dari produksi. Pasalnya, kemampuan setiap perusahaan berbeda-beda.
"Seharusnya sudah ada data kebutuhan jumlah dan kualitas batu bara untuk PLN, sehingga dapat dicocokan dengan DMO untuk masing-masing perusahaan," katanya kepada Bisnis.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 23 K/30/MEM/2018, persentase DMO minimal 25% diwajibkan untuk para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah memasuki tahap operasi produksi.
Bagi perusahaan yang tidak memenuhi persentase minimal DMO tersebut, akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahun depan. Selain itu, pengurangan kuota ekspor pun akan dikenakan sesuai jumlah DMO yang tidak terpenuhi.
Adapun perusahaan dapat mengajukan permohonan ekspor setelah DMO itu terpenuhi.