Bisnis.com, JAKARTA - Spesifiknya jenis batu bara yang dibutuhkan PT PLN (Persero) untuk pembangkit listriknya membuat praktik transfer kuota akan cukup sulit dilakukan.
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan PLN memiliki kebutuhan batu bara yang berbeda untuk setiap pembangkit listrik. Hal tersebut menjadi salah satu aspek yang membuat pengaturan transfer kuota bakal rumit.
"PLN membutuhkan batu bara dengan kalori yang sesuai. Sementara cadangan batu bara masing-masing perusahaan juga berbeda-beda," tuturnya kepada Bisnis, Senin (21/5/2018).
Menurutnya, hal tersebut akan menyulitkan pemerintah dalam melakukan pengawasan.
Dia menilai seharusnya kewajiban pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negeri (domestic market obligation/DMO) tidak dipukul rata seperti sekarang ini, yakni 25% dari produksi. Pasalnya, kemampuan setiap perusahaan berbeda-beda.
"Seharusnya sudah ada data kebutuhan jumlah dan kualitas batu bara untuk PLN, sehingga dapat dicocokan dengan DMO untuk masing-masing perusahaan," katanya.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan selama ini transfer kuota belum diatur. Menurutnya, transfer kuota perlu dilakukan karena selama tidak semua perusahaan bisa memasok batu bara hingga 25% dari produksinya.
"Belum diatur selama ini. Karena wajib DMO 25% berlaku untuk semuanya, yang kurang harus cari cara untuk memenuhi itu," ujarnya.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 23 K/30/MEM/2018, persentase DMO minimal 25% diwajibkan untuk para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah memasuki tahap operasi produksi.
Bagi perusahaan yang tidak memenuhi persentase minimal DMO tersebut, akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahun depan. Selain itu, pengurangan kuota ekspor pun akan dikenakan sesuai jumlah DMO yang tidak terpenuhi.
Adapun perusahaan dapat mengajukan permohonan ekspor setelah DMO itu terpenuhi.
Dengan persentase sebesar 25%, maka kewajiban DMO bisa naik menjadi 121 juta ton. Pasalnya, Kementerian ESDM menyatakan batas atas produksi tahun ini hingga 485 juta ton.
Jumlah tersebut berdasarkan realisasi produksi sepanjang tahun lalu sebanyak 461 juta ton ditambah 5% toleransi ekspansi produksi yang bisa diberikan Kementerian ESDM.