Bisnis.com, JAKARTA– Bank-bank sentral negara berkembang menghadapi ujian paling berat sejak peristiwa taper tantrum tahun 2013 silam.
Investor semakin meningkatkan spekulasi bahwa bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) akan terus menaikkan suku bunga hingga tahun 2019, sehingga mengirim dolar AS melonjak terhadap sebagian besar mata uang negara berkembang dalam sebulan terakhir.
Penjualan surat utang dari negara-negara seperti Rusia dan Argentina telah dibatalkan atau ditunda karena pembeli potensial menjadi tiba-tiba lebih selektif saat suku bunga AS naik.
Sementara itu, pembuat kebijakan sudah mulai bertindak, dengan bank sentral Argentina tiba-tiba menaikkan suku bunga tiga kali, menjadi 40% untuk membendung aksi jual peso. Adapun Rusia mengerem pelonggaran moneter lebih lanjut. Turki berusaha untuk menurunkan defisit neraca berjalannya
Sementara itu, Indonesia sendiri mencatat penurunan cadangan devisa karena bank sentral berupaya menopang nilai tukar rupiah.
Tekanan tersebut diperkuat oleh lonjakan utang berdenominasi dolar AS di negara-negara berkembang di dunia, yang naik 10% sepanjang tahun ini, dipimpin oleh kenaikan 22% dalam penerbitan surat utang global, menurut data Bank fro International Settlements yang dilansir Bloomberg.
Seperlima negara berkembang dan negara berpenghasilan menengah memiliki tingkat utang di atas 70% dari PDB, yang dipimpin oleh Brasil pada 84% dan India pada level 70,2%, menurut data IMF.
"Ada banyak pengaruh yang ada di pasar negara berkembang," ungkap Raghuram Rajan, profesor Universitas Chicago yang sebelumnya memimpin Reserve Bank of India, seperti dikutip Bloomberg.
Pidato Ketua Federal Reserve Jerome Powell pada hari Selasa (8/5) di Zurich dapat menjadi perkiraan nada fluktuasi berikutnya di pasar. Pandangan yang hawkish dapat mendorong imbal hasil obligasi pemerintah AS dan mengancam menghisap modal dari negara-negara berkembang.
Imbal hasil yang lebih tinggi, yang mencapai level 3% bulan lalu, akan menekan mata uang lokal dan memikat investor asing. IMF memperingatkan bulan lalu bahwa risiko terhadap stabilitas keuangan global telah meningkat selama enam bulan terakhir.
"Bank-bank sentral mungkin harus merespons dengan kenaikan suku bunga jika aksi jual meningkat," kata Chua Hak Bin, ekonom senior Maybank Kim Eng Research di Singapura.