Bisnis.com, JAKARTA -- Penggantian direksi Perum Bulog menjelang Ramadan disayangkan mengingat tugas memastikan stok pangan dan stabilisasi harga sudah di depan mata dan perlu aksi segera. Di sisi lain, direksi baru membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan mempelajari.
"Sebagai orang baru, apalagi ini bidang baru, Pak Buwas [Budi Waseso, Direktur Utama Perum Bulog yang baru] perlu mempelajari, mengonsolidasi tim, dan memetakan persoalan yang dihadapi. Ini butuh waktu," ujar pengamat pertanian sekaligus anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Khudori, Jumat (27/4/2018).
Poin itu menjadi satu dari tujuh catatan yang dikemukakan Khudori mengenai penggantian pucuk pimpinan di tubuh Bulog. Menteri BUMN Rini Soemarno baru saja menunjuk mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu menjadi Dirut Bulog menggantikan Djarot Kusumayakti. Buwas juga mendapat tugas menjaga harga pangan stabil.
Kedua, lanjut Khudori, pergantian pimpinan Bulog tidak otomatis memperbaiki problem cadangan dan stabilisasi harga pangan. Dia berpendapat pergantian direksi harus diikuti oleh perubahan kebijakan untuk menyederhanakan dan memperpendek proses pengambilan keputusan di Bulog.
Menurut dia, Bulog selama ini terkesan lambat dan tidak responsif menghadapi persoalan karena atasannya terlalu banyak hingga sembilan kementerian/lembaga.
"Perlu dipikirkan agar proses pengambilan keputusan lebih cepat dengan mengurangi 'majikan' Bulog," ujarnya.
Ketiga, perlu konsistensi dalam penugasan public service obligation (PSO) Bulog beserta instrumen dan aturan pendukungnya. Khudori memandang selama ini Bulog ditugasi menangani banyak komoditas di luar beras yang sifatnya ajek, tetapi penugasan itu tidak serius. Bulog baru diberi penugasan jika ada masalah. Ketika masalah berlalu, penugasan itu dicabut lagi.
Padahal menurut Khudori, untuk menangani satu komoditas, perlu banyak hal yang disiapkan. Penugasan juga harus disertai instrumen pendukung yang cukup dan aturan yang jelas. Sayangnya, dua hal itu alpa diberikan oleh pemberi tugas.
Keempat, menghindari penugasan-penugasan yang mendadak. Khudori menilai, di luar beras, sebagian besar penugasan kepada Bulog bersifat mendadak. Penugasan mendadak memang tidak terhindarkan, tetapi jika sebagian besar penugasan bersifat mendadak, maka bakal menyulitkan korporasi.
"Siapapun pucuk pimpinan Bulog akan terombang ambing oleh tugas-tugas mendadak ini jika masalah tersebut tidak diakhiri. Penugasan yang mendadak membuat rencana-rencana manajemen jangka menengah dan jangka panjang sulit dieksekusi. Sumber daya habis terkuras mengurus penugasan mendadak," kata Khudori.
Kelima, perlu dicari solusi agar Bulog tidak menggunakan dana bank berbunga komersial dalam operasinya, tetutama tugas-tugas PSO. Dana komersial itu membuat bulog kurang optimal dalam bekerja. Di satu sisi, tugas-tugas PSO harus berhasil. Di sisi lain, tugas PSO potensial membuat Bulog rugi. Padahal jika merugi, direksi bisa dicopot setiap saat karena dinilai tidak berhasil.
Keenam, mengembalikan Bulog pada fungsi utama sebagai penjaga atau pengelola stok dan stabilitas harga pangan. Agar jelas, pemerintah perlu segera menetapkan jenis pangan yang menjadi objek penugasan untuk distabilisasi. Stabilisasi itu membutuhkan instrumen pengaturan harga (atas dan bawah), volume cadangan, pengaturan ekspor-impor, jalur distribusi, dan dukungan anggaran yang memadai.
Ketujuh, pemerintah harus segera membentuk badan pangan sebagaimana amanat pasal 126-129 UU No 18/2012 tentang Pangan agar masalah pangan tidak selalu berulang. Badan pangan inilah yang merencanakan dan mengoordinasikan semua urusan pangan. Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini untuk menangani tugas-tugas pengadaan, pengelolaan stok/cadangan, dan stabilisasi harga.
"Pergantian pucuk pimpinan Bulog tidak bakal memperbaiki keadaan jika persyaratan-persyaratab tadi tidak dipenuhi. Jadi, kita akan mengulang-ulang ritual pergantian dirut dan direksi Bulog, tapi tidak memperbaiki keadaan."