Bisnis.com, JAKARTA— Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) berencana mengadopsi sistem kerja Kobalt Music Group melalui pemberdayaan teknologi digital untuk sistem royalti. Adanya sistem baru ini dinilai penting untuk meningkatkan kinerja industri musik di Indonesia.
Kobalt Music Group adalah sebuah perusahaan swasta asal Amerika Serikat yang memiliki basis data hak cipta dari para produsen musik, sekaligus mengelola royalti dari semua pemakaian lagu yang terdaftar untuk setiap produk komersial yang menggunakan lagu tersebut, seperti film, video youtube, atau karya lainnya.
Kepala Bekraf Triawan Munaf mengatakan saat ini pihaknya tengah mengkaji dengan sejumlah ahli di bidang musik dan hak cipta mengenai pembentukan lembaga tersebut, terlebih agar tidak tumpang tindih dengan tugas yang dijalankan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang saat ini bertugas mengurus royalti musik untuk tempat hiburan.
“Banyak sekali hal yang harus dikaji agar sistem ini tidak bertubrukan dengan yang lain, tidak menimbulkan kecemburuan, karena sistem ini tidak boleh dimiliki oleh pemerintah, harus swasta. Kalau dimiliki oleh pemerintah, lembaga lain yang ada di luar negeri tidak mau kerja sama,” ujarnya.
Dalam hal ini, dia menegaskan pihaknya selaku pemerintah hanya memfasilitasi pembentukan lembaga tersebut dalam jangka panjang. Namun nanti pengelolaannya akan dilakukan secara independen.
Dia menuturkan, nantinya sistem royalti musik ini akan dilakukan sepenuhnya secara digital dengan menggunakan BIG data. Adanya sistem digital ini diyakini dapat memudahkan para produsen untuk melacak penggunaan lagu ciptaan mereka, dan dapat melakukan monetisasi secara maksimal.
Pihaknya mengaku selama ini kesulitan untuk menghitung potensi kerugian produsen musik dalam negeri akibat adanya pembajakan. Namun dari pengamatannya, ada banyak sekali potensi royalti yang hilang karena tidak adanya sistem pendataan digital, terlihat dari banyaknya video lagu yang disadur ulang, dan banyaknya konten video di youtube yang menggunakan lagu musisi tanpa izin.
“Ini proyek jangka panjang, Indonesia harus punya. Jadi pakai BIG Data, hak cipta lagu yang didaftarkan nanti dikaitkan dengan penyanyi yang menggunakan untuk film berapa, pajaknya berapa, hak dari pencipta berapa, semua sudah ada dalam sistem itu,” jelasnya.
Dia menjelaskan, industri musik sangat dipengaruhi oleh perubahan model bisnis di dunia. Oleh karena itu,ujarnya, ekosistem musik secara digital mutlak untuk diciptakan dan difasilitasi oleh pemerintah.
Berdasarkan data Bekraf, sektor musik baru menyumbang 0,47% dari total kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor ini termasuk ke dalam sembilan subsektor ekonomi kreatif yang tingkat kontribusinya masih di bawah 1%.
Sementara delapan sektor lainnya yaitu periklanan 0,8%, fotografi 0,45%, seni pertunjukan 0,26%, desain produk 0,24%, seni rupa 0,22%, desain interior dan film masing-masing 0,16%, serta Desain Komunikasi Visual 0,06%.
Adapun dari 16 subsektor ekonomi kreatif, Triawan menyebut sektor fashion, kuliner dan kriya menjadi sektor unggulan yang menyumbang lebih 70% dari total kontribusi ekonomi kreatifsecara nasional. Data Bekraf mencatat, subsektor kuliner menyumbang hingga 41,69%, fashion 18,15%, dan kriya 15,7%. Diikuti dengan sektor lainnya televisi dan radio sebesar 7,78%, penerbitan 6,29%, arsitektur 2,3%, aplikasi dan permainan 1,77%.