Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PENAMBAHAN SUBSIDI ENERGI: Kekhawatiran Moody's Sangat Beralasan

Bisnis.com, JAKARTA Ekonom sepakat akan kekhawatiran Moody's atas arah kebijakan fiskal pemerintah Indonesia saat ini.
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) ke mobil, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/7/2015)./JIBI-Rachman
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) ke mobil, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/7/2015)./JIBI-Rachman

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom sepakat terhadap kekhawatiran Moody's atas arah kebijakan fiskal pemerintah Indonesia saat ini.

Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan dari sisi pemberian subsidi untuk menahan kenaikan harga memang positif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara. Negara maju seperti Amerika Serikat dan China pun tidak lepas dari kebijakan ini.

Namun, wajar jika lembaga peringkat melihat dari sisi beban terhadap APBN. Padahal sisi lain, jika kenaikan harga minyak mentah dunia belum mencapai US$70 per barel dampak positif masih dapat dicapai APBN.

"Sayangnya yang jadi masalah sekarang bukan beban subsidi yakni alokasi belanja sektor lain yang tinggi sehingga akan terus mengundang reaksi kekhawatiran," katanya, Rabu (7/3/2018).

Faisal menilai pengelolaan APBN pemerintah memang terbukti belum maksimal. Sejumlah rencana pengeluaran dihitung tidak akan sepadan dengan penerimaan yang di dapat sehingga memicu shortfall yang lebar.

Rencana alokasi tersebut yakni belanja infrastruktur, bantuan sosial, hingga penambahan gaji PNS. Untuk itu, pemerintah sebaiknya melakukan perbaikan sedini mungkin agar ke depan tidak semakin banyak kekhawatiran.

Pemerintah juga dinilai terlalu optimistis dengan penerimaan dari pajak. Hanya saja dengan kondisi sekarang yakni konsumsi turun manufaktur belum bertumbuh, sama sekali tidak mengindikasikan optimisme.

Lalu, dengan target penerimaan melonjak pada 2018 ini sangat berbeda dengan tahun lalu yang lebih realistis. Tahun ini pemerintah mematok kenaikan yang sangat signifikan padahal kalau dari pertumbuhan terus turun.

"Memang ada peningkatan pajak tetapi makin lama makin kecil terakhir 2016 hanya 4% padahal sebelumnya 6% hingga 8%. 2017 tidak sampai 4% lagi, jadi tidak ada yang mendukung untuk target yang lebih tinggi," katanya.

Faisal mengemukakan dengan pertumbuhan pajak yang melemah maka kemungkinan terjadi shortfall penerimaan pajak lebih lebar maka korelasinya dengan potensi defisit yang juga akan melebar. Maka, ada dua kemungkinan yakni sisi belanja meningkat atau menambah utang.

Dengan demikian, dilihat dari berbagai sisi, pemerintah perlu kembali mengkoreksi berbagai target yang tinggi ke depan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Achmad Aris

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper