Bisnis.com, JAKARTA -- Pengaktifan kembali kapal pengangkut ikan nasional berbobot besar dipandang lebih efektif memecahkan masalah kekurangan bahan baku industri pengolahan ketimbang penataan ulang rute kapal yang saat ini beroperasi.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M. Abdi Suhufan mengatakan pengaktifan kembali kapal angkut di atas 150 gros ton (GT) dapat dilakukan paralel dengan penataan ulang rute.
"Jika jalur gemuk pun kapal yang ada saat ini masih kewalahan, maka opsinya mesti ada tambahan armada," katanya, Jumat (2/2/2018).
Menurut Abdi, penataan perikanan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan harus serempak dari hulu ke hilir, termasuk menyangkut logistik dan angkutan. DFW setuju pembatasan ukuran kapal angkut ikan ditinjau lagi asalkan bertujuan jelas untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unit pengolahan ikan (UPI).
Untuk itulah, lanjut dia, kehati-hatian dibutuhkan agar pengaktifan kembali armada angkut berukuran besar benar-benar hanya berlaku bagi kapal angkut nasional.
"Pastikan bahwa Indonesia sudah punya kapal angkut ukuran besar. Jangan sampai usulan tersebut hanya mau meloloskan kepentingan asing lagi," katanya.
Abdi meyakini pengaktifan kembali kapal pengangkut ikan nasional berbobot di atas 150 GT akan signifikan mengatasi persoalan kekurangan bahan baku yang dialami UPI. Pasalnya, armada dua BUMN perikanan, yakni Perum Perikanan Indonesia (Perindo) dan PT Perikanan Nusantara (Perinus), terbatas. Sejak awal mereka diandalkan oleh KKP, tetapi UPI masih mengeluhkn bahan baku.
Usulan mengaktifkan kembali kapal pengangkut ikan nasional tanpa pembatasan ukuran dikemukakan oleh Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) sebagai solusi bagi problem utilisasi pabrik pengalengan ikan yang sulit pulih sejak bobot kapal dibatasi dan transshipment dilarang.
Ketua Harian Apiki Ady Surya menyebutkan, sebelum pembatasan ukuran berlaku mulai Januari 2016, kapal pengangkut ikan hingga 300 GT bebas mengangkut ikan dari berbagai area penangkapan ikan (fishing ground) ke pusat-pusat pengolahan. Kapal-kapal itu sebagian besar dioperasikan oleh swasta nasional.
Namun sejak Surat Edaran No D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)/Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) berlaku Januari 2016, pemerintah tak lagi memberikan perpanjangan izin kepada kapal pengangkut ikan berukuran di atas 150 GT.
Selain pengaktifan kembali armada pengangkut ikan nasional, transshipment yang lazim di dunia sebagai metode bisnis penangkapan ikan paling efisien hendaknya tidak dilarang, selama mengikuti regulasi dan dilaporkan. Pemerintah juga berhak menempatkan pengawas di atas kapal sehingga aktivitas alih muat tercatat dan terawasi dengan baik.
Menurut dia, jika pola operasional itu dibangkitkan kembali, KKP tak perlu bergantung pada program tol laut yang bersifat lintas kementerian atau membahas berkali-kali cara menurunkan tarif angkut ikan menggunakan kontainer berpendingin (reefer container) dari wilayah timur ke barat.
"KKP sebenarnya bisa menyelesaikan sendiri masalah logistik ikan ini kalau kapal pengangkut Indonesia bisa ditata dengan baik operasionalnya untuk mendukung supply chain. Kapal angkut ikan ini izinnya KKP yang keluarkan, mau sebesar apapun. Kenapa kita ribut soal kekuasaan di lembaga lain?" kata Ady.
Namun, daripada menghidupkan kembali kapal angkut nasional, pemerintah memilih menata ulang rute. Dirjen Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja mengatakan sebaran kapal angkut yang disesuaikan dengan potensi perikanan setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP) akan membantu distribusi bahan baku dari area penangkapan ke pusat-pusat pengolahan.