Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan meminta pemilik kapal untuk segera melaporkan setiap upaya tindak kejahatan di Pelabuhan Tanjung Priok. Hal itu diperlukan guna menjamin keamanan di pelabuhan terbesar di Indonesia tersebut.
Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Capt. Jhonny R. Silalahi mengatakan aparat keamanan akan bisa menangani kejahatan lebih cepat bila pemilik kapal kooperatif.
Menurutnya, Indonesia telah menerapkan standar keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan berdasarkan konvensi internasional, yakni International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code
"Kami perlu kerja samanya dari pemilik kapal bila mengalami peristiwa perompakan untuk segera melaporkan ke Syahbandar terdekat atau aparat penegak hukum, agar kami bisa menindaklanjutinya," jelasnya di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Jhonny mengungkapkan pada 2017 Kemenhub tidak menerima laporan kejadian perompakan di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok dari pemilik kapal maupun awak kapal. Oleh karena itu, Kemenhub juga menjamin keamanan Pelabuhan Tanjung Priok dari upaya perompakan.
Kemenhub lewat Direktorat KPLP juga telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum di pelabuhan baik kepolisian maupun TNI AL untuk menelusuri kejadian perompakan atau potensi perang yang mana menjadi pemicu risiko perang.
Baca Juga
Untuk diketahui, Pelabuhan Tanjung Priok masih terdaftar dalam zona rawan perang yang dirilis oleh Joint War Committe (JWC), sebuah lembaga nonpemerintah di London yang terdiri dari wakil-wakil Lloyds of London Market dan International Underwriting Association (IUA).
Jhonny menekankan, klaim JWC tidak berdasar karena eluruh pemangku kepentingan di Tanjung Priok telah menerapkan ISPS Code secara konsisten. Para pemangku kepentingna itu terdiri dari Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok, Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok, dan operator pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero).
"Ini tentunya tidak fair untuk kami, memasukan Pelabuhan Tanjung Priok ke dalam war risk tetapi tidak disebutkan alasan dan dimana adanya kejadian perompakan atau potensi perang yang dapat terjadi," keluhnya.
Sekretaris DPP Indonesia National Shipowner Association (INSA), Budhi Halim mengatakan predikat zona rawan perang membuat pemilik kapal harus membayar premi tambahan karena Pelabuhan Tanjung Priok dinilai rawan. "Pemerintah harus punya PR [public relation] yang bagus agar stigma negatif ini tidak terus muncul," ujarnya kepada Bisnis.com.
Budhi mengaku, INSA sudah mengirim surat berulang kali ke JWC untuk meminta klarifikasi terkait daftar zona rawan perang yang masih mencantumkan Pelabuhan Tanjung Priok. JWC menyebut ada dua alasan mengapa Pelabuhan Tanjung Priok masuk dalam zona rawan perang. Pertama, masih banyaknya klaim asuransi atas kejahatan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok karena adanya pencurian biasa (Petty Theft) dan pencurian dengan kekerasan (Robbery with Violence).
INSA menilai posisi Pelabuhan Tanjung Priok yang dinilai rawan perang oleh JWC janggal karena dalam daftar terbaru, JWC mencoret perairan Sulut yang masuk wilayah Filipina. Padahal, perairan itu terkenal rawan perompakan dan IMB juga menghimbau agar perusahaan pelayaran untuk tidak melalui perairan tersebut.
"[Predikat zona rawan perang] Itu gak riil sama sekali. Kami menduga ada unsur politisnya dari negara tetangga agar kapal masuk ke Singapura atau Johor sementara Tanjung Priok cuman jadi feeder," pungkasnya.