Bisnis.com, JAKARTA - Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok mengaku terkendala tidak memiliki sistem berbasis IT (teknologi informasi) mandiri untuk memantau secara real time terhadap peti kemas impor yang menumpuk melewati batas waktu maksimal 3 hari (long-stay), sehingga implementasi Permenhub No:25/2017 belum berjalan optimal.
Kepala OP Tanjung Priok Arif Toha Tjahjagama mengatakan selama ini instansinya kesulitan mengakses data real time penimbunan peti kemas long-stay itu.
"Oleh karena itu, kami terus mengimbau pemilik barang impor, jika peti kemasnya sudah clearance pabean agar segera diambil dan dikeluarkan dari pelabuhan. Jangan ditumpuk karena berdampak pada angka dwelling time," ujarnya.
Dia mengemukakan hal itu kepada Bisnis saat media port visit yang difasilitasi PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Senin (5/2/2018).
Permenhub 25/2017 mengatur tentang batas waktu penumpukan peti kemas maksimal 3 hari di empat pelabuhan utama yakni Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, Makassar, dan Belawan Medan untuk menekan masa inap barang (dwelling time).
"Selama ini Permenhub itu kami akui belum jalan, tetapi kami sudah siapkan standard operating procedure (SOP)-nya dan harapannya dalam sepekan ini selesai agar beleid itu bisa diimplementasikan di Priok," paparnya.
Arif mengungkapkan instansinya juga sudah membahas dengan melibatkan stakeholders dan asosiasi pelaku usaha terkait bagaimana upaya agar Permenhub 25/2017 ini bisa dijalankan dengan sasarannya dwelling turun sehingga biaya logistik pun bisa ditekan.
"Kami mendorng pemilik barang impor yang sudah tahu posisi barangnya dan sudah clearance pabean untuk segera dikeluarkan. Kalau menyangkut biaya yang muncul dari kegiatan storage di dalam dan di luar, silakan dibandingkan," papar Arif.
Sementara itu, saat dikonfirmasi Bisnis, Ketua BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta Subandi mengaku prihatin dengan belum berjalannya Permenhub 25/2017.
Bahkan, menurut dia, pihaknya justru mendengar ada usulan dari operator terminal peti kemas agar kegiatan relokasi peti kemas keluar lini satu, kembali menggunakan pertimbangan prosentase yard occupancy ratio (YOR) jika sudah lebih 65%, bukan mengacu pada batas waktu menumpuk maksimal 3 hari di terminal lini satu.
"Jika ingin kembali berdasarkan hitungan YOR 65% itu, biaya storagenya juga tidak ada tarif progresif dan free time-nya 3 hari," ucap Subandi.