Bisnis.com, JAKARTA— Kamar Dagang dan Industri (Kadin) merekomendasikan pemerintah untuk menggunakan instruktur pendidikan vokasi dari kalangan industri guna mencetak tenaga kerja siap pakai.
Ketua Komite Tetap Bidang Kompetensi dan Sertifikasi Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Iftida Yasar menilai, saat ini tenaga kerja lulusan SMK masih belum siap pakai karena kurikulum yang ada tidak memiliki sistem pemagangan yang terstruktur. Hal ini berbeda di negara maju seperti Jepang dan Jerman di mana siswa pendidikan vokasi di mana 70% kurikulumnya merupakan praktek di industri sedangkan 30% merupakan teori, sehingga mencetak tenaga kerja berkompeten ketika lulus.
“Mereka itu magang yang banyak baru sesekali sekolah, kalau kita sekolah baru sesekali magang. Jadi memang dia selama belajar, 70% ada di industri bukan sekolah, karena etos kerja, kompetensi, dibangun di situ,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (4/2/2018).
Dia menilai, hal tersebut juga didorong oleh regulasi di dunia maju yang mendelegasikan penyusunan kurikulum pendidikan vokasi kepada para pelaku usaha, termasuk mengenai alokasi anggaran yang biasanya berskema public private partnership (PPP) atau kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).Adapun di Indonesia, kurikulum pendidikan vokasi masih dirancang oleh insitusi pendidikan, yang kadang dianggap kurang sesuai dengan perkembangan dunia usaha.
“Makanya salah satu usulan Kadinadalah berkontribusi menyiapkan instruktur, daripada merekrut karyawan baru PNS, lebih baik sebagian instruktur dari industry,” jelasnya.
Dia menambahkan, para instruktur dari kalangan industri dapat diberikan pembekalan mengenai pedagogi atau pendidikan belajar mengajar. Atau sebaliknya, para fasilitator atau guru SMK juga bisa diberikan pemagangan di industri selama beberapa tahun.
Dia menilai, pemerintah perlu membuat proyek percontohan vokasi yang melibatkan kalangan industri, sebelum menerapkan program vokasi berskala nasional. Pasalnya dia melihat kebutuhan tenaga kerja di setiap daerah berbeda-beda. Selain itu, dia juga menganggap perlunya sinergi antara program vokasi di daerah dengan kearifan lokal setempat.
“Karena link and match berkaitan dengan local wisdom. Katakanlah di Papua atau Maluku butuhnya di bidang olahraga. Kalau kita bicara industri jangan selalu soal pabrik, manufaktur, tetapi masih banyak bidang lainnya seperti industri kreatif dan olahraga,” tutupnya.