Bisnis.com, JAKARTA — Rencana implementasi beleid perlakuan fiskal terhadap e-commerce berpotensi memantik kecemburuan. Pasalnya, dalam rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) yang tengah dibahas pemerintah, skema pajak yang disiapkan hanya untuk e-commerce yang melalui marketplace.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak, menjelaskan bahwa keputusan itu diambil karena dalam skema ketentuan pajak yang sedang disusun, tidak semua channel bisa dijangkau lantaran karakteristik transaksi dan proses bisnis yang berbeda dari masing-masing channel.
"Kami lebih tekankan kepada e-commerce yang melalui marketplace, karena itu yang paling applicable untuk saat ini," kata Yoga kepada Bisnis, Rabu (31/1).
Mengutip kajian Kementerian Keuangan berdasarkan data dari lembaga survei internasional e-marketer pada awal 2017, penetrasi pengguna Internet di Indonesia mencapai 132,7 juta dengan 106 juta di antaranya adalah pengguna media sosial. Sementara itu, dengan total populasi pengguna gawai sebesar 371,4 juta, 9% atau sebanyak 24,7 di antaranya telah melakukan pembelian secara e-commerce.
Lembaga survei itu juga memproyeksikan pada 2018, nilai perdagangan e-commerce Indonesia berada peringkat 6 di kawasan Asia Pasifik dengan pertumbuhan sebesar US$10,92 miliar atau setara dengan Rp147,4 triliun. Data lembaga survei internasional tersebut diperkuat dengan analisis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Badan think tank Kemenkeu itu menyebutkan bahwa penjualan online mengambil porsi penjualan retail sebesar 3,5% pada 2017 dan akan mencapai 4,8% pada 2019. Pada 2016 pertumbuhan keseluruhan penjualan retail sebesar 55,2%. Dengan pertumbuhan tersebut, pasar e-commerce rata-rata menggerus 0,65% pasar retail.