Bisnis.com, JAKARTA- Meski bea masuk anti-dumping (BMAD) telah dicabut setelah putusan WTO, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Patulian Tumanggor menilai hal ini tidak akan bertahan lama.
Pasalnya Uni Eropa hingga kini masih mengupayakan untuk penghapusan minyak kelapa sawit sebagai energi terbarukan pada 2021.
Menurutnya, sikap Uni Eropa tidak adil karena hanya minyak berbahan kelapa sawit termasuk biodiesel saja yang akan dihapus pada 2021. Sementara minyak nabati lainnya baru akan dieksekusi pada 2030.
“Ini tidak adil, ini diskiriminasi. Kalau memang tetap ingin dihapuskan minyak kelapa sawit, harusnya sama dengan nabati lain pada 2030,” tegasnya kepada Bisnis.
Selain akan melakukan upaya diplomasi untuk menghentikan penghapusan ini, Aprobi kini masih berupaya menangkal kampanye negatif terhadap kelapa sawit yang terus didengungkan Eropa. “Karena dampaknya bukan hanya biodiesel, tetapi juga CPO,” ujar dia.
Pemerintah Indonesia memenangkan enam dari tujuh gugatan yang dilayangkan kepada World Trade Organization atas sengketa ekspor biodiesel ke Uni Eropa.
Seperti diketahui, WTO memenangkan enam gugatan RI dan menyatakan enam hal. Pertama, UE tidak menggunakan data yang telah disampaikan oleh eksportir Indonesia dalam menghitung biaya produksi. Kedua, UE tidak menggunakan data biaya-biaya yang terjadi di Indonesia pada penentuan nilai normal untuk dasar penghitungan margin dumping.
Ketiga, UE menentukan batas keuntungan yang terlalu tinggi untuk industri biodiesel di Indonesia. Keempat, metode penentuan harga ekspor untuk salah satu eksportir Indonesia tidak sejalan dengan ketentuan. Kelima, UE menerapkan pajak yang lebih tinggi dari margin dumping. Keenam, UE tidak dapat membuktikan bahwa impor biodiesel asal Indonesia mempunyai efek merugikan terhadap harga biodiesel yang dijual oleh industri domestik UE.
Sementara satu gugatan yang tidak dimenangkan terkait dengan pemungutan selisih antara BMADS dan BMAD, dimana Panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO menganggap EU telah sejalan dengan aturan yang ada tentang pungutan selisih tersebut.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan dalam kasus ekspor biodiesel ke Uni Eropa, Bea Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS) yang diputuskan pada 28 Mei 2013 sebesar 0,0%-9,6%. Kemudian dikeluarkan putusan dalam putusan SEF pada 1 Oktober 2013 BMADS sekitar 13,90% - 23,30%. Adapun BMAD yang diputuskan tanggal 19 November 2013 adalah sebesar 8.8%-23,3%.
“Karena BMAD lebih kecil dibandingkan BMADS, maka EU melakukan penghitungan ulang [recalculated] sebagaimana tercantum dalam putusan yang pernah diterbitkan sebelumnya untuk Argentina. Namun untuk Indonesia, EU memutuskan untuk menunda sampai berakhirnya proses di WTO,” katanya kepada Bisnis.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada periode 2013–2016 ekspor biodiesel Indonesia ke UE turun sebesar 42,84%, dari US$649 juta pada 2013 turun menjadi US$150 juta pada 2016. Nilai ekspor biodiesel Indonesia ke UE paling rendah terjadi di 2015 yaitu hanya sebesar US$68 juta.
Dia menuturkan, penurunan tersebut akibat pengenaan BMAD yang cukup besar. Rencana UE untuk mengeluarkan biodiesel berbahan minyak kelapa sawit dari energi terbarukan juga sempat dikhawatirkan bakal mengurangi kinerja ekspor biodiesel Indonesia.
Kemenangan Indonesia atas sengketa ini memberikan dinilai memberi harapan kepada eksportir maupun produsen biodiesel Indonesia. Tren ekspor biodiesel Indonesia ke UE pada periode sejak pengenaan BMAD sampai dengan dikeluarkannya putusan akhir Badan Penyelesaian Sengketa WTO (2013-2016) diestimasikan sebesar 7%.
Pemerintah memperkirakan jika peningkatan tersebut dapat dipertahankan dalam dua tahun ke depan, maka nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai US$386 juta dan pada 2022 akan menembus US$1,7 miliar.
Sementara data yang dikeluarkan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Total produksi biodiesel Indonesia mencapai 3,1 juta kiloliter sejak Januari – November 2017. Angka ini terbagi atas penggunaan dalam negeri sebanyak 2,3 juta kiloliter dan ekspor hanya di 179.000 kiloliter di sejumlah negera seperti Australia.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menuturkan secara teknis putusan ini akan menggairahkan prospek ekspor Indonesia, sekaligus menjamin crude palm oil tetap prospektif. Keputusan ini juga diyakini berdampak terhadap ekspor seluruh produk yang berasal dari Tanah Air.
“Dampak psikologisnya hal ini menunjukkan semacam preseden bagi bukan hanya minyak sawit, namun juga bagi kasus produk ekspor lain. Ini menunjukan bahwa suatu kebijakan yang diterapkan oleh negara maju sekalipun, kalau bisa fight dan memberi argumen kuat, bukan tidak mungkin akan memenangkan putusan,” kata Faisal kepada Bisnis.
Hasil ini dinilai ikut mendongkrak kepercayaan diri produsen maupun eksportir dalam melakukan perdagangan internasional.
Di samping itu, Faisal menyebut keputusan itu akan berpengaruh pula pada proposal rencana penghapusan minyak berbahan kelapa sawit sebagai energi terbarukan 2021. Menurutnya, jika UE menyepakati hal itu, tetap tidak akan menghentikan ekspor CPO. Hanya saya minyak nabati itu tidak masuk dalam daftar prioritas 30% penggunaan energi terbarukan tiga tahun mendatang.