Bisnis.com, JAKARTA—Kerja sama pemerintah dengan badan usaha yang terpilih untuk membangun kawasan industri petrokimia di Bintuni, Papua Barat diyakini dapat mengurai hambatan dalam realisasi proyek.
Direktur Sektor Energi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Triharyo Indrawan Soesilo menyatakan kelayakan proyek akan menggunakan beragam skema yang memastikan keuntungan layak bagi badan usaha. Opsi lain yang juga dipertimbangkan adalah pemberian dukungan tunai infrastruktur (viability gap fund/VGF).
"Agar layak maka akan diberikan tax holiday, tanah gratis, dan jaminan dari risiko politik," kata Triyono yang akrab disapa Hengki itu, di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (25/1).
Kawasan pengembangan gas terpadu ini tidak hanya dapat menghasilkan produk petrokimia, tetapi juga didorong untuk mengubah methanol menjadi bahan bakar baik solar dan bensin. Apalagi diperkirakan terdapat sisa methanol cukup besar yang dapat diubah menjadi bahan bakar.
"Proyek Bintuni akan feasible jika Pertamina menjadi offtaker. Methanol bisa sebagai pencampur untuk pembuatan bahan bakar," katanya.
Dia mengatakan, peluang ini sekaligus membantu Pertamina mengendalikan biaya distribusi akibat program BBM satu harga.
Pembangunan kawasan gas terpadu untuk petrokimia ini akan membutuhkan investasi hingga US$2,8 miliar atau mencapai Rp37,2 triliun. Awalnya pengembangan terganjal oleh harga gas yang belum memuaskan industri. Pupuk Indonesia dan calon mitranya Ferrostaal menyampaikan usulan pemerintah mengenai harga gas eksplorasi Teluk Bintuni sebesar US$5,2 per MMBtu masih memberatkan. Penetapan kawasan ini sebagai proyek strategis nasional membuat investor tidak lagi wajib menjadi penyedia tanah dan pelabuhan.