Bisnis.com, JAKARTA – Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) berpendapat kemajuan perekonomian global saat ini bukanlah ‘new normal’ karena ada risiko jangka menengah-panjang yang tetap harus diwaspadai.
Dalam World Economic Outlook (WEO) Update Januari 2018, Maurice Obstfeld, Kepala Ekonom IMF mengatakan kondisi yang terjadi saat ini belum bisa dianggap sebagai situasi ekonomi yang normal karena ada beberapa alasan. Sesuai proyeksi jangka menengah, ada keraguan terkait daya tahan momentum saat ini.
Pertama, perekonomian negara maju memimpin kenaikan pertumbuhan ekonomi, tapi mereka akan kembali ke tingkat pertumbuhan jangka panjang yang berada di bawah level sebelum krisis. Pasalnya, perubahan demografis dan produktivitas yang rendah memunculkan tantangan nyata untuk menuntut investasi besar pada sumber daya manusia dan penelitian. Eksportir bahan bakar menghadapi prospek suram dan harus menjalankan diversifikasi ekonomi.
Kedua, dua perekonomian yang terbesar mendorong pertumbuhan saat ini dan jangka pendek mendatang diperkirakan akan melambat. China akan mengurangi stimulus fiskal beberapa tahun terakhir, sejalan dengan upaya mengendalikan pertumbuhan kredit.
Di AS, risiko pertumbuhan seiring dengan berakhirnya insentif belanja sementara (terutama investasi) sebagai rentetan dari langkah pemotongan pajak. Pada saat yang bersamaan ada peningkatan utang pemerintah.
Ketiga, kondisi keuangan yang mudah dan dukungan fiskal juga meninggalkan warisan hutang – pemerintah maupun dalam beberapa kasus untuk korporasi dan rumah tangga – di negara maju dan berkembang.
Inflasi dan tingkat suku bunga tetap rendah untuk saat ini, tapi kenaikan yang mendadak akan memperketat kondisi keuangan secara global. Ini akan mendorong pasar untuk mengevaluasi kembali keberlanjutan utang dalam beberapa kasus. Kenaikan harga saham juga akan rentan dan meningkatkan risiko dari gangguan penyesuaian harga.
Keempat, meskipun terjadi pertumbuhan di Eropa, Asia, dan Amerika Utara, ada wilayah yang terbebani dengan pelemahan dari perekonomian yang lebih besar, yakni Timur Tengah dan Sub-Sahara Afrika.
Pasalnya, pertumbuhan rendah, sebagian didorong oleh cuaca buruk. Beberapa kali hal ini ditambah dengan perselisihan masyarakat sipil sehingga memicu migrasi yang signifikan. Perbaikan di beberapa kawasan Amerika Latin penting, tapi pertumbuhan agregat ini di kawasan ini terbebani dengan keruntuhan ekonomi di Venezuela.
Kelima, tingkat ketimpangan tinggi di negara berkembang dan negara berpendapatan rendah. Ini akan membawa benih gangguan di masa depan, kecuali pertumbuhan ekonomi dapat dibuat lebih inklusif.
“Betapapun menggodanya duduk santai dan menikmati sinar matahari, kebijakan bisa dan harus bergerak untuk memperkuat pemulihan,” ungkap Maurice.
Saat ini menjadi momentum untuk membangun buffer kebijakan, memperkuat pertahanan terhadap ketidakstabilan keuangan, serta berinvestasi pada reformasi struktural, infrastruktur produktif, dan manusia.
“Resesi berikutnya mungkin lebih dekat dari perkiraan kita dan amunisi untuk melawannya jauh lebih terbatas dari pada satu dekade yang lalu, terutama karena utang publik jauh lebih tinggi,” imbuhnya.
IMF, melalui WEO Update yang dirilis pada Senin (22/1/2018) di Davos, Swiss – bersamaan dengan pertemuan World Economic Forum 2018 - kembali mengerek proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini.
IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini dan 2019 sebesar 3,9%. Proyeksi itu secara otomatis naik sekitar 0,2% dibandingkan estimasi dalam WEO yang dirilis pada Oktober 2017 sebesar 3,7%. Selain itu, IMF juga mengerek estimasi pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu dari sebelumnya 3,6% menjadi 3,7%.