Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai konsumsi rumah tangga sepanjang tahun ini hanya akan tumbuh moderat dikisaran 5% kendati sejumlah kegiatan internasional dan pilkada serentak akan berlangsung.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan konsumsi rumah tangga diproyeksi tumbuh moderat dikisaran 5% - 5,1% tahun ini. Angka ini lebih optimis dibanding tahun sebelumnya karena terjadi pemulihan daya beli.
Faktornya 40% rumah tangga kelompok pengeluaran paling bawah terbantu oleh bansos yang jumlah penerimanya naik signifikan.
"Asalkan pencairan bansos tepat waktu daya beli kelompok ini bisa terjaga. Faktor kedua adalah transmisi kenaikan pendapatan masyarakat karena pertumbuhan ekspor komoditas. Jadi proyeksinya di daerah penghasil komoditas seperti Sumatera dan Kalimantan konsumsi rumah tangga tahun ini cukup bagus," katanya hari ini Sabtu (20/1/2018).
Hal lain yang perlu dicermati adanya tren pergeseran pola konsumsi. Kelas menengah dalam 3 tahun terakhir cenderung menahan belanja pakaian jadi. Ini terlihat dari pertumbuhan konsumsi pakaian jadi anjlok dari 5% ke 2% pada 2017 lalu berdasarkan data BPS.
Adapun konsumsi untuk leisure yaitu transportasi komunikasi tumbuh cukup tinggi 5,8% (yoy). Tren ini makin berkembang di 2018 paska banyaknya aplikasi yang menawarkan tiket penerbangan dan akomodasi murah.
Sementara soal dampak pilkada sekitar 0,1-0,2% terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi, menurut Bhima, tidak akan terlalu besar meskipun ada beberapa sektor yang ikut naik dalam pilkada yakni makanan minuman, rokok, perhotelan, dan restoran.
Sementara itu, dalam riset terbaru DBS Group Research mengemukakan konsumsi rumah tangga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu.
Pada kuartal III, pertumbuhan PDB sebesar 5,06% lebih rendah dari target Bank Indonesia sebesar 5,18%. Rendahnya pertumbuhan tercermin dari tingkat konsumsi rumah tangga yang turun menjadi 4,93%, dibandingkan 4,95% pada kuartal II/2017.
Belum lagi kenaikan tarif listrik pada Januari dan Mei turut mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Namun kondisi ini diperkirakan membaik pada 2018. DBS Group Research memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,3% pada 2018.
Angka ini lebih tinggi dari prediksi pertumbuhan PDB sebesar 5,1% pada 2017. Pertumbuhan ekonomi 2018 terutama akan didorong oleh peningkatan investasi di dalam negeri.
Investasi swasta diandalkan dengan terbatasnya ruang fiskal pemerintah. Undang-undang mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal 35 dari PDB. Diperkirakan defisit akan mencapai 2,6% pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah sebesar 2,2%.
DBS Group Research memperkirakan kenaikan defisit terutama didorong oleh potensi penerimaan pajak yang lebih rendah dari target.
Pada 2018, pemerintah mengalokasikan anggaran belanja sebesar Rp2.221 triliun. Meski hanya meningkat sekitar 4% dari tahun sebelumnya, tapi pemerintah diperkirakan cenderung lebih populis dengan memberikan sejumlah stimulus fiskal untuk menjaga konsumsi kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
Anggaran subsidi energi dinaikkan sebesar 5% menjadi Rp94,5 triliun, pemerintah juga menyatakan tidak akan menaikkan tarif listrik pada tahun ini.
Selain itu anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang bisa digunakan warga untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari juga melonjak. Dari Rp1,7 triliun yang mencakup 6 juta keluarga sasaran pada 2017, menjadi Rp20,8 triliun meliputi 10 juta keluarga pada 2018.
PKH merupakan program yang memberikan bantuan dana kepada keluarga miskin mulai dari Rp500 ribu hingga Rp3,6 juta per tahun. Program ini selain untuk mengurangi angka kemiskinan juga diharapkan mampu memperbaikin daya beli konsumen, terutama di segmen menengah ke bawah.
“Dengan pemerintah yang cenderung lebih populis disertai kenaikan upah minimum regional, kami memprediksikan tingkat konsumsi rumah tangga secara berkala akan meningkat,” tulis riset tersebut.