Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ombudsman Deteksi Gejala Maladministrasi dalam Pengelolaan Stok dan Rencana Impor Beras

Ombudsman melihat adanya gejala maladministrasi dalam pengelolaan data stok dan rencana impor beras 500.000 ton yang terjadi saat ini.
Pejabat Ombudsman saat jumpa pers soal kebijakan impor beras 500.000 tom./.
Pejabat Ombudsman saat jumpa pers soal kebijakan impor beras 500.000 tom./.

Bisnis.com, JAKARTA -- Ombudsman melihat adanya gejala maladministrasi dalam pengelolaan data stok dan rencana impor beras 500.000 ton yang terjadi saat ini. 

Berdasarkan pemantauan Ombudsman di 31 Provinsi pada 10-12 Januari 2018 menangkap beberapa hal yaitu adanya keluhan pedagang, stok beras pas-pasan, tidak merata dan harga meningkat tajam sejak Desember 2017.

Ahmad Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI, mengatakan ada beberapa gelaja maladministrasi yang dilihat oleh pihaknya.

"Ada enam gejala maladministrasi yaitu penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik, mengabaikan prinsip kehati-hatian, penggunaan kewenangan untuk tujuan lain, penyalahgunaan kewenangan, prosedur tak patut atau pembiaran, dan konflik kepentingan," ujarnya, Senin (15/1/2018).

Pertama, penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik. Dia mengatakan Kementerian Pertanian selalu menyatakan bahwa produksi beras surplus dan stok cukup, hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.
Adapun gejala kenaikan harga sejak akhir tahun, tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar, mengindikasikan kemungkinan proses mark up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini.

"Akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan keputusan berpotensi keliru," jelasnya.

Kedua, mengabaikan prinsip kehati-hatian. Alamsyah mengatakan keputusan impor beras untuk didistribusikan ke pasar khusus secara langsung dilakukan dalam masa yang kurang tepat.

"Hasil pantauan Ombudsman di 31 provinsi pada 10-12 Januari 2018, stok di masyarakat memang pas-pasan dan tidak merata, namun ada dalam situasi menjelang panen. Diperlukan kehati-hatian," katanya.

Ketiga, penggunaan kewenangan untuk tujuan lain. Dia mengatakan Pasal 6 huruf C Peraturan Presiden No. 48/2016 mengatur Perum Bulog melakukan pemerataan stok antar wilayah sesuai kebutuhan.

"Dalam situasi current stock pas-pasan dan tidak mereata, maka kewenangan yang harus dioptimalkan terlebih dahulu adalah pemerataan stok," katanya.

Alamsyah menjelaskan dalam situasi stok di Bulog menipis dan psikologi pasar cenderung mengarah pada harga merangkak naik, maka jika harus impor tujuannya adalah untuk meningkatkan cadangan beras dan kredibilitas stok Bulog di hadapan pelaku pasar dalam kerangka stabilisasi harga. Menurutnya, impor bukan untuk mengguyur pasar secara langsung, apalagi pasar khusus yang tidak cukup signifikan permintaannya. 

Keempat, penyahgunaan kewenangan. Dia mengungkapkan pada Pasal 3 ayat 2 huruf d Perpres No. 48/2016 dan diktum Ketujuh angka 3 Inpres No. 5/2015 mengatur bahwa yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga adalah Perum Bulog.  "Penunjukan PT PPI sebagai importir berpotensi melanggar Perpres dan Inpres," katanya. 

Kelima, prosedur tidak patut atau pembiaran, pada Inpres No.5/2015 juga mengatur bahwa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian melakukan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan Inpres tersebut.  

Keenam, konflik kepentingan. Permendag No. 1/2018 yang dibuat begitu cepat dan tanpa sosialisasi dinilai juga berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan. Misalnya timbul pertanyaan, apakah impor beras khusus termasuk yang diatur pemerintah penugasannya.

Kemudian, dengan margin yang tinggi antara harga beras impor dengan harga pasar domestik dan HET, siapa yang akan paling diuntungkan jika impor dilakukan bukian untuk berjaga-jaga dan lainnya.

Alamsyah mengatakan pihaknya baru melihat hal ini sebagai gejala maladministrasi. Dia mengatakan ada tahapan proses yang dilakukan untuk penetapan dari Ombudsman. Pertama, dari gejala itu masuk ke tahap dugaan maladministrasi. Setelah diperiksa baru ditetapkan ada atau tidaknya maladministrasi.

"Jadi gejala-gejala ini mengapa kami sampaikan karena kami punya tugas pencegahan oleh Undang-Undang. Pencegahan itu kami sampaikan, kami berharap secara voluntari [Kementerian] bersangkutan melakukan perbaikan lebih dini. Jangan sampai kemudian sudah parah baru sulit diperbaiki," jelasnya.

Seperti diketahui pemerintah secara resmi akan melakukan impor beras khusus sebanyak 500.000 ton untuk tahap awal pada akhir Januari 2018.

Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita usai menggelar rapat bersama Asosisasi Pengusaha Ritel Indonesia dan sejumlah pedagang beras skala besar hingga pukul 21.00 WIB di Kementerian Perdagangan pada Kamis (11/1/2018).

Enggartiasto mengatakan impor beras kali ini dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi kekurangan beras jenis medium di pasaran. Pasalnya beras kelas dua tersebut telah mengalami kenaikan sejak akhir tahun akibat stok yang terus menipis.

“Sebanyak 500.000 ton start awal. [Diimpor] dari berbagai negara yang ada beras. Vietnam, Thailand kita masukkan,” kata Enggar di Jakarta pada Kamis (11/1) malam.

Enggar mengklaim jenis beras yang akan diimpor nantinya, tidak berjenis sama dengan dalam negeri. Di samping itu harga beras tersebut akan dipasarkan ke masyarakat di bawah harga eceran tertinggi (HET) yakni Rp9.450/kg untuk regional I.

Beras yang akan diimpor tersebut, lanjutnya, akan bersertifikasi khusus, sehingga tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Impor beras tersebut akan dilakukan melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero). Mendag mengaku impor melalui perusahaan itu akan mempermudah pemerintah mengontrol setiap penyaluran.

“Jenis beras berdasarkan Permendag 01 Tahun 2018, maka itu katagori beras khusus. Dan harganya kita tidak perduli harganya berapa, namun harga beras medium. Kategori beras khusus kita jual dengan harga medium. Bisa kita lakukan, dan pasti. Membuat beras medium dan premium akan tersedia,” tuturnya.

Menteri Enggar memperkirakan panen raya baru akan terjadi pada Februari dan Maret. Pihaknya mengaku tidak ingin mengambil resiko kekurangan pasokan beras. Sehingga solusi impor dinilai menjadi langkah tepat. Upaya ini disebut akan membuat masyararakat tidak perlu khawatir pada kekurangan pangan.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Agne Yasa

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper