Bisnis.com, JAKARTA – Kondisi pertumbuhan ekonomi yang baik dinilai menopang outlook stabil untuk kelayakan utang negara-negara di kawasan di Asia Pasifik (APAC) selama 12 hingga 18 bulan ke depan.
Dalam laporannya bertajuk ‘Sovereigns -- Asia Pacific: 2018 outlook stable as upturn in growth balances high leverage’, Moody’s Investors Service memaparkan pertumbuhan PDB global memberikan keuntungan bagi negara-negara Asia Pasifik meskipun tingkat utang yang tinggi tetap menjadi kendala utama.
“Kekuatan ekonomi yang sehat di kawasan ini serta tingkat keterbukaan perdagangan yang tinggi membuat negara-negara di kawasan tersebut berada pada posisi yang baik untuk mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan PDB global yang lebih kuat,” jelas Anushka Shah, Asisten Wakil Presiden dan Analis di Moody’s, seperti dikutip dari laman resminya, Selasa (10/1/2018).
Perusahaan pemeringkat kredit, penelitian, dan analisis risiko itu memperkirakan ekonomi negara-negara emerging markets di Asia Pasifik akan tumbuh 6,5% pada tahun 2018.
Sementara itu, ekonomi negara-negara frontier markets dan negara-negara maju di kawasan tersebut masing-masing akan tumbuh 5,9% dan 1,8%.
India dan China tetap merupakan negara dengan laju pertumbuhan ekonomi tercepat di kawasan ini. Pertumbuhan moderat yang bertahap di China (A1, outlook stabil) dan perlambatan sementara di India (Baa2, outlook stabil) akan diimbangi oleh tren pertumbuhan yang kuat di negara-negara Asia lainnya.
Namun demikian, laju integrasi ekonomi lintas batas yang lebih lambat akan menghambat peningkatan potensi pertumbuhan dibandingkan dengan dua dekade terakhir.
Tantangan jangka menengah juga terkait dengan upaya rebalancing yang sedang berlangsung di China. Hal ini kemungkinan akan terus memberi rintangan terhadap impor, tren demografi yang secara umum melambat atau negatif di kawasan ini, dan potensi perangkap untuk pendapatan kelas menengah.
Laporan Moody menyoroti bahwa sebagian besar negara di kawasan Asia Pasifik memiliki tingkat utang yang tinggi, baik di sektor pemerintah, perusahaan, atau rumah tangga.
Hal ini diakibatkan dari pertumbuhan pendapatan dan penghasilan yang relatif lamban serta tingkat suku bunga yang rendah selama beberapa tahun.
Saat tingkat suku bunga cenderung akan dinaikkan alih-alih diturunkan, utang pemerintah merupakan perhatian khusus untuk frontier markets dan Jepang (A1, outlook stabil).
Beberapa negara, terutama yang memiliki nilai tukar yang kurang fleksibel dan/atau tingkat dolarisasi yang lebih tinggi, kemungkinan juga memiliki lebih sedikit ruang kebijakan moneter untuk merespons potensi kenaikan suku bunga yang cepat.
Utang perusahaan yang tinggi di China, berikut beberapa sektor di India, Indonesia, dan Korea, bersama dengan utang rumah tangga yang tinggi di beberapa negara maju kawasan Asia Pasifik, dapat menghambat pertumbuhan, menumpulkan efektivitas kebijakan kontra-siklus, serta meningkatkan risiko liabilitas kontinjensi.
Terkait risiko ketegangan geopolitik di kawasan ini yang telah mengemuka sepanjang tahun 2017, sebagian besar akibat ketegangan di semenanjung Korea, Moody's tetap berasumsi bahwa probabilitas terjadinya konflik rendah, meskipun dengan dampak kredit yang tinggi, terutama untuk Korea dan Vietnam (B1, outlook positif) dan Jepang.
Agenda pemilihan umum (pemilu) yang padat juga dapat memperlambat momentum reformasi di beberapa negara, dengan Malaysia (A3, outlook stabil), Kamboja (B2, outlook stabil), Fiji (Ba3, outlook stabil), Thailand (Baa1, outlook stabil), dan Pakistan (B3, outlook stabil) akan mengadakan pemilihan parlemen, dan Maladewa (B2, outlook stabil) menggelar pemilihan presiden.
Berdasarkan penilaian Moody’s, sebanyak 21 dari 24 negara di Asia Pasifik memiliki outlook stabil mulai Januari 2018. Adapun dua negara memiliki outlook positif dan satu lainnya memiliki outlook negatif.