Bisnis.com, JAKARTA—Ketergantungan industri petrokimia terhadap refinery yang saat ini hanya disediakan oleh Petramina membuat pabrikan kesulitan mendapatkan bahan baku.
Direktur PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Suhat Miyarso berpendapat bahwa perusahaan milik negara tersebut saat ini memprioritaskan memproduksi bahan bakar minyak (BBM) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan nafta industri petrokimia.
Di banyak negara, industri petrokimia terintegrasi dengan kilang minyak sebagai pemasok bahan baku. Namun, di Indonesia, industri petrokimia belum ada integrasi bisnis dan masih mengimpor sebagian besar bahan baku berupa nafta dari luar negeri.
"Kalau ingin sustainable harus ada integrasi vertikal dengan refinery," ujarnya di Jakarta, Senin (27/11/2017).
Suhat menyatakan pihaknya mendorong Pertamina untuk mendirikan tiga refinery supaya dapat memasok nafta ke industri. Biaya logistik bahan baku dari luar negeri selama ini menambah beban produksi pabrikan.
"Kalau kami bisa dapat dari Pertamina kan lebih dekat dan lebih murah," katanya.
Saat pabrik kedua Chandra Asri telah selesai dibangun, bahan baku nafta tetap diimpor dari negara-negara penghasil minyak, seperti Arab Saudi dan Bahrain. Apabila Pertamina bisa memproduksi nafta untuk industri, emiten dengan kode saham TPIA dapat mengalihkan sumber bahan baku ke dalam negeri.
Chandra Asri tengah memproses perizinan pendirian fasilitas produksi naphtha cracker kedua yang ditargetkan rampung dalam 3 tahun mendatang. Kebutuhan nafta untuk dua pabrik perseroan tersebut diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun.
Selain integrasi dengan pemasok bahan baku, Suhat berpendapat industri petrokimia juga perlu mendiversifikasi produk serta mengembangkan riset dan pengembangan.