Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bujet Iklan Peritel Tetap Naik

Perlambatan pertumbuhan ritel saat ini tidak membuat nilai belanja iklan peritel di televisi dan media cetak mengalami penurunan, ditunjukkan dengan naiknya belanja iklan nasional sebesar 8% menjadi Rp107,7 triliun per kuartal III/2017 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya
Ilustrasi./.JIBI
Ilustrasi./.JIBI

Bisnis.com, JAKARTA-- Perlambatan pertumbuhan ritel saat ini tidak membuat nilai belanja iklan peritel di televisi dan media cetak mengalami penurunan, ditunjukkan dengan naiknya belanja iklan nasional sebesar 8% menjadi Rp107,7 triliun per kuartal III/2017 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Data Nielsen Indonesia juga menunjukkan pertumbuhan belanja iklan selama periode Juli-September 2017 meningkat 16% secara year-on-year (yoy). (lihat tabel)

Executive Director, Head of Media Business Nielsen Indonesia Hellen Katherina mengatakan walaupun ritel mengalami penurunan, pihaknya tidak melihat adanya penurunan bujet iklan dari pemain ritel. Bahkan, jika dilihat dalam daftar kategori pengiklan terbesar, produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) masih mendominasi dan bahkan terus menunjukkan pertumbuhan. 

"Jadi, masih growing saja. Kita lihat pemain ritel yang besar kan di hair careface care," ujar dia kepada Bisnis usai paparan Nielsen: New Way to Reach Consumers, Rabu (22/11).

Selain produk perawatan rambut dan perawatan wajah, produk FMCG lain yang masuk dalam daftar pengiklan terbesar dan tetap bertumbuh adalah produk makanan ringan, biskuit, dan kue serta makanan ringan dan mie instan. 

Intensitas beriklan yang tidak berkurang dipandang menjadi bagian dari promosi. Pasalnya, jika tidak beriklan maka penjualan pasti terpengaruh. 

Executive Director, Retailer Services The Nielsen Company Indonesia Yongky Susilo sebelumnya menyatakan pertumbuhan ritel selama sembilan bulan pertama 2017 hanya mencapai 2,5%. Hingga akhir tahun ini kenaikannya diperkirakan maksimal 3%.

Secara keseluruhan, pertumbuhan belanja iklan nasional didorong oleh kenaikan rate card atau tarif iklan. Untuk televisi, rate card rata-rata meningkat 6%. Sementara itu, untuk media cetak pertumbuhannya sekitar 2%. 

Kontributor utama untuk pertumbuhan belanja iklan masih dipegang oleh televisi, dengan porsi 80% dari total angka belanja iklan. Sisa 20% lainnya berasal dari media cetak, yakni koran dengan porsi 19% dan majalah hanya 1%. 

Iklan di televisi disebut sebagai pembangun imej suatu brand dan memiliki eksposure yang paling tinggi dibandingkan media lainnya, termasuk digital. 

Tetapi, terang Hellen, jumlah spot atau volume iklan justru mengalami sedikit penurunan. Hingga kuartal III/2017, volume iklan terpangkas 1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Salah satu penyebab turunnya volume iklan adalah karena adanya media cetak yang tutup.

Nielsen mengungkapkan selain menghitung iklan televisi yang tayang di jeda iklan (commercial breaks) biasa, sejak Mei 2017 perusahaan tersebut juga mengukur iklan yang ditayangkan dalam program tertentu. Format iklan televisi yang dinamakan in-program ads itu misalnya muncul dalam bentuk running textproduct placement, dan squeeze frame

Running text muncul dalam bentuk di bagian bawah layar televisi, seperti halnya berita teks dalam program berita di televisi. Product placement muncul ketika tokoh atau pembawa acara sengaja memperlihatkan penggunaan produk tertentu kepada pemirsa televisi. 

Sementara itu, squeeze frame seringkali muncul dalam tayangan program olahraga, di mana layar yang memperlihatkan pertandingan tiba-tiba mengecil dan tampak seperti dibingkai oleh iklan produk tertentu. 

Nielsen mencatat selama Mei-Oktober 2017 sekitar 22% dari total 2,77 juta spot iklan televisi berbentuk in-program ads. Dari sisi durasi, porsinya 13% dari total 13.564 jam durasi iklan televisi. Secara keseluruhan, terdapat 12 tipe in-program ads yang dimonitor oleh perusahaan. 

Product placement mencakup 29% dari total tayangan in-program ads, disusul running text dengan 18%. Hellen mengklaim Indonesia adalah satu-satunya negara yang menghitung in-program ads

"Sampai saat ini, belum ada rate card resmi dari stasiun televisi untuk jenis iklan ini. Tetapi, sekarang iklan jenis ini sudah menjadi penawaran standar di televisi. Kehadirannya membuka peluang baru yang sangat besar untuk para pengiklan," papar dia. 

Belum adanya ketentuan resmi dari pemerintah yang mengatur in-program ads membuat iklan jenis ini lebih fleksibel. Eksposurenya pun lebih tinggi dibandingkan commercial breaks karena kemungkinan pemirsa mengganti saluran ketika iklan tersebut muncul lebih rendah. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper