Bisnis.com, JAKARTA — DPR mempertanyakan dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk merealisasikan pembentukan holding BUMN pertambangan, karena terdapat banyak benturan dengan sejumlah produk hukum.
Seperti diketahui, pembentukan holding BUMN pertambangan segera terealisasi pada akhir bulan ini. Empat perusahaan tambang milik negara berencana menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) secara serentak pada 29 November 2017.
Keempat BUMN tersebut terdiri dari PT Inalum (Persero), PT Antam (Persero) Tbk., PT Bukit Asam (Persero) Tbk., dan PT Timah (Persero) Tbk. Dalam agenda RUPS Antam, Bukit Asam, dan Timah akan dibahas terkait perubahan status perusahaan dari persero menjadi non-persero.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Inas Nasrullah Zubir mengungkapkan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2016 yang dijadikan dasar hukum pembentukan holding hingga saat ini masih menjadi permasalahan di parlemen karena dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Banyak teman-teman di Komisi VI yang masih tidak setuju dengan PP tersebut,” kata Inas baru-baru ini.
Selain menghilangkan fungsi DPR ketika akan ada pengalihan kekayaan atau aset negara dari satu BUMN ke BUMN lain, ketentuan golden share yang diatur dalam PP 72 juga dipertanyakan. “Cukup dengan adanya satu saham istimewa (goldenshare) di perusahaan, maka perusahaan itu masih bisa dibilang sebagai BUMN dan pemerintah berwenang penuh. Payung hukum di atasnya di mana? Di UU BUMN atau UU manapun tidak ada yang mengatur seperti itu,” tegasnya.
Sebagai informasi, pada pasal 2A ayat (1) PP No. 72/2016 disebutkan bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada BUMN atau PT kepada BUMN atau PT lain dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme APBN. Hal ini berarti bisa tanpa persetujuan DPR.
Padahal, UU No. 17/2003 mengatur bahwa perubahan kekayaan negara menjadi aset BUMN dan PT tidak dapat langsung dikerjakan oleh pemerintah karena harus dibahas dengan DPR (Komisi VI dan Komisi XI).
Selanjutnya, pada Pasal 2A ayat (2) mengatakan, ketika kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham tersebut dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki satu saham dengan hak istimewa (goldenshare) yang diatur dalam anggaran dasar.
Sementara itu, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN. Sehingga anak perusahaan BUMN tidak dapat diperlakukan sama dengan BUMN dalam hal penugasan dan pengelolaan sumber daya strategis. Secara konstitusi (UUD 45 Pasal 33), seluruh aset strategis nasional harus dikelola oleh negara melalui BUMN.