Bisnis.com, JAKARTA — Produsen listrik swasta atau independent power producer/IPP masih kesulitan untuk mencari pendanaan dalam membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan. Kesulitan pendanaan ini akan menghambat pembangunan mega proyek pembangkit listrIk 35.000 MW.
Harga jual listrik yang ditetapkan dalam Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemafataan Energi Baru Terbarukan untuk Tenaga Listrik dinilai masih rendah. Harga jual listrik energi baru terbarukan dalam aturan itu dipatok 85% dari biaya pokok poruksi PLN setempat.
Wakil Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (Meti) Sujana mengatakan bahwa pengembang harus mendapatkan pinjaman dengan bunga di bawah 11% untuk mengatasi rendahnya harga jual listrik kepada PLN itu.
“Bank tidak mampu menetapkan bunga di bawah 11%. Kami masih membutuhkan bunga rendah untuk mengatasi harga jual listrik yang rendah,” katanya saat menggelar konfersensi pers, Jumat (3/11).
Upaya pemerintah yang mendorong PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk membantu pendanaan ternyata sulit untuk diimplementasikan. Pasalnya, bunga SMI pun justru lebih tinggi dari yang ditawarkan perbankan nasional yang besarannya sekitar 11%—12%.
“SMI bisa sampai 13,5% karena mereka menambahkan risiko lain-lain, sehingga tambah sekitar 5%,” ujar Sujana.
Bunga yang tinggi bahkan dibarengi dengan tenor yang terbilang singkat, yakni hanya 5 tahun. Padahal waktu yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH), misalnya dibutuhkan sekitar tiga tahun. “Jadi tidak mungkin kita bisa kembalikan dalam waktu dua tahun operasi,” ungkap Sujana.
Upaya pemerintah untuk mendatangkan pinjaman (lender) asing sebagai salah satu solusi pembangunan juga harus dilupakan. Pasalnya persyaratan yang harus dipenuhi para pelaku usaha terbilang memberatkan.
“Tidak semua IPP mampu mendpatkan pendanaan dari bank asing yang bunganya lebih rendah,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Pembangkit Listrik Tenaga Air, Riza Husni.
Sebagai gambaran, pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) membutuhkan modal sekitar Rp20 miliar untuk 1 MW. Maka proyek PLTMH berkapasitas 10 MW butuh biaya investasi Rp200 miliar.
IPP energi terbarukan harus punya uang cash setidaknya Rp100 miliar karena bank hanya mau memberi kredit Rp 100 miliar. Pinjaman Rp100 miliar itu pun harus dicicil ke bank dalam waktu kurang dari 5 tahun dengan bunga di atas 11% per tahun.
Belum lagi pengembang energi terbarukan harus membayar biaya-biaya lain seperti pembangunan jalan, jembatan, dan asuransi.
Direktur Eksekutif Institute Essnetial Service Reform Fabby Tumiwa mengatkan hal ini segera disadari pemerintah sebagai salah satu penghambat terbesar dalam pengembangan energi baru terbarukan.
Pemerintah seharusnya mendorong perbankan nasional untuk bisa ikut mendanai investasi energi masa depan sekaligus peningkatan peetumbuhan ekonomi karena memang itulah tujuan utama pendirian bank nasional.