Bisnis.com, JAKARTA - Intervensi pemerintah terhadap peredaran daging beku impor ke pasar tradisional berakibat pada menurunnya skala usaha feedloter dan peternak rakyat. Sementara, harga daging Rp80.000 per kg seperti yang diinginkan Presiden Joko Widodo juga tak kunjung tercapai.
Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia Asnawi mengatakan regulasi yang mengatur larangan peredaran daging kerbau beku ke pasar tradisional selaras dengan segmentasi pasar daging di Indonesia. Namun sejak regulasi dicabut, segmentasi pasar daging berubah.
Berdasar Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian, statistik konsumsi pangan 2015 menunjukkan konsumsi daging di Indonesia diantaranya 86% daging sapi, 5% daging kerbau, dan 9% daging kambing. Hasil riset APDI 2017 menunjukkan omset penjualan harian daging sapi sebesar 50.979 kg atau 95%, sisanya daging kerbau sebesar 2.850 kg atau 5%.
Dari riset yang sama, 60,3% dari 400 pedagang daging Jabodetabek menyatakan menjual daging sapi karena permintaan yang tinggi. Konsumen terbesar daging segar adalah rumah tangga.
Mengutip riset Aryo Pramono pada 200, Asnawi menyebutkan dari 100 responden di Kota Bogor lebih menyukai daging sapi karena memiliki nilai gizi lebih tinggi. Daging segar lebih disukai karena kualitas daging lebih baik. Responden membeli daging sapi segar di pasar tradisional.
"Segmentasi di pasar tradisional sudah terbentuk [daging segar]. Mindset masyarakat mencari daging segar di pasar tradisional," kata dia dalam diskusi Menata Pasar Daging yang Tersegmentasi, Kamis (2/11).
Sehingga, peredaran daging beku di pasar tradisional dinilai bukan jawaban atas tingginya permintaan daging sektor rumah tangga yang merupakan konsumen terbesar di pasar daging. Apalagi di tengah tingkat pengawasan rendah dan ketidakmampuan pedagang dan konsumen membedakan daging segar dan daging beku.
Kondisi ini membuka peluang bagi pedagang mencampur daging segar dan beku untuk memperoleh keuntungan lebih tinggi. Apalagi, perbedaan harga keduanya sangat signifikan.
Oleh karena itu, Asnawi menilai pemerintah perlu memperkuat sektor hulu dengan meningkatkan populasi sapi. Jika populasi sapi lokal belum mencukupi kebutuhan, maka tak ada salahnya impor sapi bakalan.
"Karena permintaannya adalah daging segar," imbuh dia.
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan nilai tambah sektor pertanian maupun peternakan terletak pada segmentasi pasar produk itu. Dengan pasar yang lebih spesifik, maka harga produk bisa dijual lebih tinggi.
"Ada 41 segmen pasar daging sapi di Indonesia. Ini banyak ditemui di supermarket. Jadi, kenapa harus disamaratakan dengan harga Rp80.000 per kg," imbuhnya.
Staf Pengajar Fakultas Pertanian IPB Muladno menyampaikan desain awal importasi daging beku diperuntukkan bagi konsumsi industri. Namun, demi menekan harga daging sapi pada angka Rp80.000, daging beku diedarkan ke pasar tradisional. Begitu pula, daging beku yang semula untuk pasar Jabodetabek, melebar ke luar Jabodetabek.
"Harusnya dikembalikan ke desain awal. Daging beku untuk industri. Pangan [rakyat] butuh daging segar," kata dia yang juga Dirjen PKH Kementan periode 2015-2016.
Sejalan dengan itu, Kementerian Pertanian harus fokus meningkatkan populasi sapi lokal. Pemerintah juga perlu merancang perjanjian kerjasama pemasukan sapi bakalan dengan negara eksportir dalam kurun waktu tertentu.
"Dengan perjanjian impor lima tahun sekali misalnya, peternak Australia dapat merancang bisnisnya. Harga juga pasti akan turun. [Yang terjadi] kebijakan berubah-ubah setiap tahun," imbuhnya.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementerian Pertanian Fini Murfiani mengatakan pemerintah berupaya meningkatkan produksi sapi lokal melalui program Upsus Siwab melalui inseminasi buatan. Program serupa masih dilanjutkan pada 2018.
Hanya saja, program ini belum menunjukkan hasil menggembirakan. Realisasi hingga 29 Oktober 2017, inseminasi buatan tercapai 80% dari target 4 juta akseptor. Sementara itu, sapi bunting baru tercapai 40% dari target 3 juta ekor.
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan nilai tambah sektor pertanian maupun peternakan terletak pada segmentasi pasar produk itu. Dengan pasar yang lebih spesifik, maka harga produk bisa dijual lebih tinggi.
"Ada 41 segmen pasar daging sapi di Indonesia. Ini banyak ditemui di supermarket. Jadi, kenapa harus disamaratakan dengan harga Rp80.000 per kg," imbuhnya.
Staf Pengajar Fakultas Pertanian IPB Muladno menyampaikan desain awal importasi daging beku diperuntukkan bagi konsumsi industri. Namun, demi menekan harga daging sapi pada angka Rp80.000, daging beku diedarkan ke pasar tradisional. Begitu pula, daging beku yang semula untuk pasar Jabodetabek, melebar ke luar Jabodetabek.
"Harusnya dikembalikan ke desain awal. Daging beku untuk industri. Pangan [rakyat] butuh daging segar," kata dia yang juga Dirjen PKH Kementan periode 2015-2016.
Sejalan dengan itu, Kementerian Pertanian harus fokus meningkatkan populasi sapi lokal. Pemerintah juga perlu merancang perjanjian kerjasama pemasukan sapi bakalan dengan negara eksportir dalam kurun waktu tertentu.
"Dengan perjanjian impor lima tahun sekali misalnya, peternak Australia dapat merancang bisnisnya. Harga juga pasti akan turun. [Yang terjadi] kebijakan berubah-ubah setiap tahun," imbuhnya.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementerian Pertanian Fini Murfiani mengatakan pemerintah berupaya meningkatkan produksi sapi lokal melalui program Upsus Siwab melalui inseminasi buatan. Program serupa masih dilanjutkan pada 2018.
Hanya saja, program ini belum menunjukkan hasil menggembirakan. Realisasi hingga 29 Oktober 2017, inseminasi buatan tercapai 80% dari target 4 juta akseptor. Sementara, sapi bunting baru tercapai 40% dari target 3 juta ekor.