Bisnis.com, JAKARTA-- Kabinet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusif Kalla telah memasuki tahun ketiga. Bagaimana kondisi kelistrikan di tanah air? Berikut tanggapan pelaku usaha.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadharma mengatakan, pemerintah perlu menerbitkan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan sebagai acuan dan insentif dari pemerintah terhadap pelaku usaha.
“Masa depan kita akan tergantung pada energi terbarukan, oleh karena itu Undang-Undang Energi Terbarukan harus kita dorong sebagai payung hukum.
Lalu, konsistensi dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah harus ada, dan itu untuk jangka panjang bukan untuk jangka pendek seperti sekarang ini,” tuturnya di Jakarta, Senin (23/10).
Menurutnya, dalam bauran energi nasional, pemerintah harus mengupayakan pengurangan penggunaan energi berbasis fosil dan beralih ke energi baru terbarukan di masa depan.
Kondisi saat ini berdasarkan data tahun 2016, porsi energi terbarukan baru 7,7% , sementara energi berbasis fosil masih menguasai dengan porsi minyak bumi sebesar 33,8%, batubara sekitar 34,6%, dan gas bumi mencapai 23,9%.
Sementara berdasarkan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2025 porsi EBT harus digenjot sampai 23%, sedangkan energi fosil sebesar 77% (minyak bumi 25%, batubara 30%, gas bumi 22%).
Bahkan untuk tahun 2050, porsi energi ramah lingkungan itu harus mencapai 31%, sementara energi berbasis fosil tinggal 69% (minyak bumi 20%, batubara 25%, gas bumi 24%).
Salah satu program yang terus digaungkan sejak Pemerintahan Jokowi-JK bekerja adalah terkait infrastruktur ketenagalistrikan lewat program 35.000 Megawatt (MW).
Ali Herman Ibrahim, Ketua Harian Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI), bahwa dirinya mengapresiasi program kelistrikan nasional lewat program 35.000 MW yang menjadi manifestasi Nawa Cita dalam bidang kelistrikan.
Hanya saja akselerasi dari program 35.000 MW terhambat oleh sejumlah permasalahan sehingga dari keseluruhan total proyek yang sudah beroperasi baru 768 MW.
Sementara yang dalam tahap konstruksi sebesar 14.193 MW, lalu yang sudah selesai PPA namun belum konstruksi mencapai 8.550 MW, sedang yang dalam tahap Pengadaan 5.155 MW. Selanjutnya masih ada sekitar 7.170 MW yang baru dalam tahap Perencanaan.
“Percepatan penyelesaian On Going Project harus dilakukan,” ujar Ali.
Dipaparkan oleh Ali Herman Ibrahim, beberapa kendala yang ditemui antara lain permasalahan investasi dan pendanaan, permasalahan engineering, procurement & construction (EPC), persoalan lingkungan, hingga persoalan keekonomian terkait pengembalian modal dari kegiatan pembangunan infastruktur yang dilakukan.