Bisnis.com, JAKARTA - JAKARTA - Gabungan importir nasional seluruh Indonesia (GINSI) menginginkan Ditjen Bea dan Cukai menyosialisasikan lebih konkret perihal kegiatan importasi kategori berisiko tinggi, termasuk kriteria yang bisa dikategorikan importasi borongan.
Sekjen Badan Pengurus Pusat GINSI, Erwin Taufan mengatakan masih minimnya sosialiasi tentang hal tersebut mengakibatkan banyak perusahaan importir justru khawatir dikategorikan importasi berisiko tinggi.
"Prinsipnya GINSI mendukung penuh upaya pemerintah melalui Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu untuk membenahi tata niaga impor saat ini," ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (12/10/2017).
Apalagi, imbuhnya, Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi pada saat acara Indonesia Logistic, Transport & Maritime di Jakarta 10-12 Oktober 2017, di hadapan para pelaku usaha termasuk para importir, mengemukakan bahwa Ditjen Bea dan Cukai meminta pelaku usaha memberikan masukan kepada instansi itu terhadap apa yang masih harus ditingkatkan.
Pada kesempatan itu, Dirjen Bea dan Cukai juga mengatakan, untuk mendukung kegiatan pelaku usaha, Bea dan Cukai telah melayani sekitar 1.400 kawasan berikat, 2.250 gudang berikat serta 73 lokasi pusat logistik berikat.
Taufan mengatakan, GINSI mengapresiasi yang sudah dilakukan Ditjen Bea dan Cukai untuk mendukung kegiatan para pelaku bisnis.
"Makanya kami juga meminta Bea Cukai untuk memberikan arahannya yang lebih detail terkait importasi berisiko tinggi. Jangan sampai importir tidak mengetahui caranya seperti apa," tegasnya.
GINSI menilai, sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap seluruh importir supaya bisa berusaha dan melakukan kegiatan dengan benar dan lancar.
Karenanya, ujar Taufan, jangan sampai berkeinginan untuk membina, tetapi malah membinasakan sehingga importir justru tidak bisa lagi berkegiatan lantaran hingga sekarang masih banyak aturan yang membuat para impotir menjadi susah bergerak.(k1)