Bisnis.com, JAKARTA - Inggris akan menerbitkan rancangan undang-undang yang dirancang untuk membatasi harga energi bagi jutaan konsumen rumah tangga. RUU pembatasan harga energi itu untuk memperbaiki pasar energi yang telah merugikan konsumen selama ini.
Perdana Menteri Theresa May pertama kali mengusulkan RUU pembatasan harga energi itu pada awal tahun ini yang merupakan intervensi pasar terbesar sejak era mekanisme pasar sepenuhnya di sektor energi selama hampir 30 tahun.
Menurutnya, kebijakan itu bakal memangkas sekitar US$1,19 miliar dari nilai kedua perusahaan penyedia energi yang terdaftar di bursa Inggris, yaitu Centrica dan SSE.
"Saya telah memastikan bahwa pasar energi kita yang rusak harus berubah. Energi harus memberikan harga yang lebih adil bagi jutaan pelanggan yang telah membayar ratusan pound lebih mahal," kata May seperti dikutip Reuters, Kamis (12/10).
Pemerintah akan menerbitkan rancangan undang-undang dalam beberapa hari ke depan sambil menunggu pemeriksaan dari parlemen sebelum masuk proses legislasi. Namun, belum ada detai soal pembatasan harga energi di Inggris atau batas atas harga sumber energi di negara itu.
Berdasarkan undang-undang tersebut, Badan Pengawas Energi Inggris (Ofgem) akan memasukkan harga pada tarif variabel standar (SVTs), yang merupakan tarif dasar yang diminta oleh pemasok energi jika pelanggan tidak memilih skema atau rencana tertentu.
Pasar energi di Inggris didominasi oleh enam perusahaan besar, yaitu British Gas, SSE, Power Scottish, Power, Innogy, EON, dan EDF Energy, yang mencakup sekitar 85% pasar listrik ritel.
Lebih dari 18 juta rekening pelanggan di Inggris saat ini menggunakan tarif variabel standar atau tarif lainnya.
Sementara itu, di Indonesia, harga energi bagi konsumen telah diatur. Misalnya, harga Premium yang diatur pemerintah meskipun sudah tidak disubsidi lagi. Demikian juga dengan tarif dasar listrik yang diatur oleh pemerintah.