Siapa yang tidak tahu industri penerbangan? Industri ini dianggap salah satu industri yang terseksi karena ketahanan permintaan pasar dimana lalu lintas penerbangan terus meningkat dua kali lipat setiap 15 tahun, meskipun adanya resesi global, krisis finansial, guncangan minyak, pandemik, dan serangan teroris. Meskipun tajuk berita dipenuhi oleh maskapai penerbangan dan pabrik pesawat, banyak yang tidak melihat sektor lain di dalamnya. Salah satu faktor kunci di industri aviasi adalah industri Maintenance, Repair, Overhaul (MRO), atau sederhananya, bengkel pesawat.
Permintaan pasar akan tranportasi udara yang aman dan dapat diandalkan telah mengembangkan industri MRO menjadi industri bernilai USD 75 miliar per tahun dan tumbuh sebesar 4% per tahun. Di Asia Pasifik tidak termasuk Cina, pasar MRO bernilai USD 13.3 miliar per tahun, sementara di Indonesia yang sudah mempunyai armada pesawat yang besar dengan buku pesanan pesawat yang sama besarnya, industri MRO hanya bernilai USD 1 per tahun.
Foto: Gerry Soejatman
Bagi seorang analis penerbangan, nilai pasar MRO di Indonesia menunjukkan peluang yang sangat baik untuk tumbuh, dengan perkiraan industri bisa mencapai 9,2% per tahun, dua kali lipat tingkat pertumbuhan global. Tapi berapa banyak di sektor keuangan dan bisnis umum yang tahu atau bahkan mengerti industri ini? Selama bertahun-tahun saya pernah mendengar komentar seperti "Bukankah itu seperti bengkel mobil untuk pesawat terbang?" dan "Ketika orang-orang bisa selalu menunda pemeliharaan mobil mereka, saya kira sama halnya dengan pesawat terbang."
Sebuah pesawat terbang seperti Boeing 737-800 atau Airbus A320 berharga sekitar USD 7.000 sampai USD 8.000 per jam terbang. Nilai pemeliharaannya berkisar antara USD 660 sampai USD 1.200 per jam terbang tergantung pada paket dukungan pemeliharaan yang diambil. Sebuah pesawat biasanya terbang selama 3.000 sampai 4.000 jam per tahun, dan ini setara dengan antara USD 2 juta per tahun sampai dengan USD 5 juta per tahun untuk pesawat 737-800 dan A320, nilai ini hanya untuk perawatan rutin saja. Indonesia, memiliki sekitar 200 pesawat terbang pada kelas itu, jadi Anda dapat menghitung jumlahnya dan dengan cepat menyimpulkan nilai tersebut setaradari setengah nilai pasar MRO di Indonesia. Sisa dari nilai pasar berasal dari pasar
turboprop domestik dan pesawat jet berbadan lebar.
Fasilitas perawatan pesawat terbang merupakan investasi bernilai tinggi. Dari hanggar hingga ke bengkel, dan fasilitas uji mesin, semua ini diperlukan untuk MRO yang independen jika ingin mendapatkan pijakan pasar yang signifikan. Sebagian besar MRO yang memiliki semua ini adalah anak perusahaan penerbangan, dan pertanyaan biasa yang muncul adalah, "Apa yang terjadi ketika perusahaan induk dalam keadaan merah?"
Ada alasan mengapa MRO milik maskapai ini dibentuk sebagai entitas yang terpisah, ini dikarenakan mereka dapat memberikan layanan yang kompetitif bagi perusahaan induknya dan untuk perusahaan lain. Industri maskapai penerbangan bersaing sangat ketat, dan perawatan yang baik adalah salah satu aspek kunci, namun biayanya perlu masuk akal. Dengan memisahkan bisnis dari induk perusahaan, perusahaan penerbangan dapat memiliki kapabilitas tersebut secara efektif untuk keperluan perawatan pesawat dari perusahaan induk namun juga mendapatkan kapabilitas tersebut dengan harga pasar yang kompetitif.
Investasi dalam infrastruktur MRO adalah investasi yang berskala besar, seringkali lebih besar dari kebutuhan maskapai induk. Kapasitas berlebih inilah yang ditawarkan ke maskapai lain, bahkan kepada pesaing perusahaan induk. Ini mungkin terdengar mengerikan bagi kaum "monopoli melalui integrasi vertikal", namun diperlukan dalam industri ini. Ini memastikan bahwa bisnis perawatan Anda memberikan Anda layanan yang kompetitif, karena Anda sebagai perusahaan penerbangan harus waspada terhadap keuntungan Anda.
Jangan menyangkal bahwa MRO milik maskapai penerbangan di seluruh dunia ini menghabiskan bertahun-tahun untuk mengubah diri mereka dari sebagai pelayan perusahaan induk yang mendiskriminasikan klien yang merupakan pesaing perusahaan induk, menjadi bisnis yang kompetitif dimana skeptisisme klien yang bersaing dengan perusahaan induk dijawab dengan pelayanan yang baik. MRO milik maskapai yang sukses telah mengatasi hal ini untuk bertahan dalam persaingan. Dulu, maskapai yang memiliki MRO biasanya adalah perusahaan milik negara, dan pada era milenium, banyak perjuangan yang harus dilakukan untuk bertahan di era persaingan yang baru ini.
Dua kasus penting dalam sejarah adalah kegagalan Sabena dan Swissair, dua maskapai legendaris yang mengalami banyak perubahan dalam revolusi digital milenium dan bangkitnya industri penerbangan berbiaya rendah. Keduanya juga memiliki anak perusahaan MRO yang besar, dengan kemampuan yang sudah dipercaya dunia. Ketika bangkrut, Sabena diganti dengan SN Brussels Airlines, dan Swissair diganti oleh maskapai pesawat pengumpan anak perusahaannya menjadi Swiss. Namun anak perusahaan MRO Sabena dan Swissair tetap bertahan. Sabena Technics sekarang berkembang sebagai salah satu MRO independen terbesar di Eropa, dan kini dimiliki oleh grup TAT yang terdiri dari anak perusahaan teknik dari maskapaimaskapai Eropa lainnya yang telah bangkrut, dengan kemampuan manufaktur komponen untuk produsen pesawat terbang. Swissair Engineering sempat di spin-off menjadi SR Technics sebelum kebangkrutan induk mereka dan SR Technics sekarang menjadi MRO global terkemuka setelah mendapatkan investasi dari Mubadala. SR Technics memiliki kemitraan berkelanjutan dengan GMF AeroAsia milik Garuda Indonesia dalam hal penyediaan komponen di regional.
Sementara ini kita bisa berbangga bahwa GMF AeroAsia adalah MRO terbesar ke-13 di dunia yang bukan merupakan anak perusahaan pabrik rangka atau mesin pesawat, kita juga harus menyadari bahwa sektor MRO di Indonesia masih terlalu kecil untuk ukuran negara ini. Jika kita melihat Singapura, mereka adalah pusat MRO di Asia Tenggara, bahkan Asia secara keseluruhan.
MRO Indonesia hanya dapat melayani kurang dari separuh kebutuhan perawatan pesawat di Indonesia, sehingga masih banyak sekali ruang untuk tumbuh dan berkembang. Mendukung ekspansi MRO Indonesia sangatlah penting jika kita ingin industri penerbangan kita tetap tumbuh. Prediktabilitas dan keandalan layanan penerbangan yang baik memerlukan sektor MRO yang sehat dan juga perkembangan ekosistem teknik pesawat yang terdiri dari MRO berkapasitas kecil maupun besar.
Pertanyaannya adalah, berapa banyak MRO Indonesia yang secara aktif berinovasi serta mengembangkan bisnis mereka dan apakah transformasi tersebut berhasil dikomunikasikan? Saya merasa sangat sedih karena ada banyak harta karun terkubur dan tidak diketahui dalam industri MRO Indonesia seperti kemampuan manufaktur suku cadang, modifikasi struktur pesawat terbang, konversi pesawat penumpang menjadi pesawat kargo, yang tidak dikomunikasikan dengan baik ke pasar, apalagi publik. Kalau industri MRO ini tidak membenahi komunikasi transformasi bisnis mereka, maka mereka akan akan terus dipandang sebelah mata dalam sektor aviasi.
Penulis: Gerry Soejatman, Pakar dan Praktisi Industri Aviasi, Managing Consultant di Communicavia