Bisnis.com, JAKARTA -- Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan harus mengarah pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.
Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan masyarakat hukum adat harus mendapat perhatian, khususnya dalam menjaga ikatan asal-usul dan kedekatan mereka dengan wilayah dan sumbet daya alamnya.
"Negara mengakui dan menghormati masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang hidup," katanya dalam peluncuran buku 'Laut dan Masyarakat Adat, Selasa (5/9/2017).
Dia memaparkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat diterapkan dalam pengelolaan perikanan. Aktivitas penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta melibatkan peran-serta masyarakat.
Sejauh ini pengakuan dan perlindungan terhadap mereka tertuang dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, yang a.l. membagi pengelolaan wilayah darat dan laut. UU itu diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Brahmantya melihat masyarakat adat identik dengan ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam di wilayahnya sehingga cenderung mengelola secara berkelanjutan. Praktik itu ditemukan a.l. pada tradisi panglima laot, sasi, awig-awig, seke, malombo, romping, pele-karang, lamba, dan kelong.
"Sebagian kearifan lokal masih asli, sebagian hasil revitalisasi, dan ada yang mulai pudar," katanya.
Buku Laut dan Masyarakat Adat merupakan hasil kajian atas lima studi kasus pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat, Maluku; Pulau Liki, Sarmi, Papua; Pulau Kawio dan Pulau Kawaluso, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara; dan Pulau Kakorotan, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.