Bisnis.com, JAKARTA—Pasar baja lapis domestik kini bukan lagi didominasi oleh produk pabrikan China. Hampir separuh baja lapis impor yang masuk ke Indonesia merupakan produk pabrikan Vietnam.
“Dulu Indonesia itu paling banyak mengimpor dari China dan sekarang sudah terjadi peralihan. Nanti ke depan akan semakin banyak impor dari Vietnam,” ujar Vice President Major Projects PT NS Bluescope Indonesia Iwan S. Gandamulya di Jakarta, Selasa (29/8/017).
Menurutnya, struktur biaya produksi dan biaya energi di Vietnam semakin menandingi pabrikan China. Terlebih, pabrikan baja lapis di Vietnam tengah menghadapi situasi kelebihan pasokan. “Vietnam sekarang overcapacity baja dan akhirnya outputnya banyak yang harus dilempar ke luar,” ujarnya.
Indonesia berpeluang untuk mengalihkan pangsa impor baja dari China kepada Vietnam. Sebab dalam free trade agreement ASEAN terdapat salah satu klausul pembebasan import duty terhadap komoditas itu.
Permintaan domestik terhadap komoditas baja lapis mencapai 1,65 juta ton pada 2016, atau melonjak 20% bila dibandingkan dengan permintaan pada 2015 sebanyak 1,37 ton. Hanya saja, kemampuan produksi pabrikan lokal belum mampu memenuhi seluruh permintaan domestik. Sebanyak 53% permintaan baja lapis nasional, atau sebanyak 898.000 ton dipasok dari impor. Dari total impor itu, sebanyak 45% produk didatangkan dari Vietnam.
Padahal, prospek pertumbuhan permintaan baja lapis diperkirakan masih ada di level dua digit dalam beberapa tahun ke depan karena konsumsi baja per kapita di Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN.
Konsumsi baja di Indonesia masih berada di kisaran 65 kilogram per kapita. Angka itu jauh berada di bawah negara tetangga seperti Singapura 1.036 kilogram per kapita, Malaysia 410 kilogram per kapita, Thailand 296 kilogram per kapita, dan Vietnam 164 kilogram per kapita.
Namun, pola pertumbuhan konsumsi baja per kapita di Indonesia jauh lebih agresif ketimbang negara lain di Asean. Iwan memperkirakan konsumsi baja di Indonesia mencapai 84 kilogram per kapita pada 2020.
“Memang overall konsumsi baja per kapita masih di bawah. Tapi dari tahun ke tahun persentase kenaikan pertumbuhan konsumsi baja kita paling agresif di ASEAN,” ujarnya.
Pabrikan baja lapis, ujarnya, merupakan industri yang berada di segmen midstream dan hilir. Tapi, kedua lini industri baja tersebut tak memperoleh kesetaraan regulasi bila dibanding pabrikan baja hulu.
Pabrikan baja midstream dan hilir sama tak memperoleh insentif revisi harga gas dari pemerintah. Akibatnya, rata-rata pabrikan memperoleh harga gas senilai US$9,2 per MMBTU. Besaran harga itu merupakan yang tertinggi di ASEAN. Sebagai gambaran, harga gas di Malaysia senilai US$5,18 per MMBTU kepada seluruh industri.
Di samping itu, impor bahan baku berupa material cold rolled coil atau baja canai panas dikenakan tarif bea masuk 15%. Padahal, kapasitas terpasang produsen CRC masih belum sanggup memenuhi seluruh kebutuhan industri hilir.