Bisnis.com, JAKARTA—Badan Pusat Statistik mencatat impor bahan baku pada Juli 2017 senilai US$10,43 miliar atau naik 40,79% dibanding bulan sebelumnya senilai US$7,43 miliar. Nilai impor bahan baku itu juga lebih tinggi 52,94% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Direktur Statistik Distribusi BPS Anggoro Dwitjahyono menyatakan pola permintaan bahan baku manufaktur selalu berbanding lurus dengan jumlah hari kerja pabrikan. Pola permintaan bahan baku cenderung menurun tajam tatkala memasuki libur lebaran.
“Sementara permintaan pada bulan berikutnya kembali melonjak, polanya selalu begitu setiap tahun. Libur lebaran punya dampak langsung terhadap produksi,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (15/8).
Impor bahan baku mendominasi keseluruhan impor yang terjadi pada Juli lalu. Nilai impor bahan baku mencapai 75,13% dari total impor senilai US$13,89 miliar. Impor barang konsumsi senilai US$ 1,09 miliar atau berperan sebesar 12,77% dari total impor. Sementara itu, impor barang modal senilai US2,36 miliar
Secara kumulatif, impor bahan baku tahun berjalan periode Januari—Juli 2017 senilai US$65,06miliar atau meningkat 16,31% dibanding periode yang sama pada 2016 senilai US$55,94 miliar. “Kenaikan impor bahan baku itu akan tercermin dengan adanya kenaikan volume produksi,“ ujarnya.
Badan Pusat Statistik menyoroti ketergantungan manufaktur domestik terhadap pasokan bahan baku asal negara tertentu. Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyatakan pangsa bahan baku manufaktur asal China mencapai 25% dari keseluruhan nilai impor.
Baca Juga
“Ini sebenarnya yang perlu menjadi perhatian, pasokan bahan baku industri pengolahan kita sangat tergantung terhadap ekonomi China,” ujarnya.
Menurutnya, diversifikasi pangsa impor perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan bahan baku dari negara tertentu. Pangsa impor terbesar RI merupakan China (25,84%), ASEAN (20,6%), Jepang (11,41%), Thailand (7,32%), dan Uni Eropa (9,32%)