Bisnis.com, JAKARTA - Akurasi data keluar masuk barang di Indonesia dinilai sangat penting sebagai tolok ukur dalam merealisasikan program pembangunan ekonomi nasional sekaligus ditopang layanan logistik yang efisien.
Oleh karena itu, kegiatan perdagangan antarpulau/domestik, khususnya bahan pokok dan barang penting, perlu dihitung, diukur dan dicatat (tally) agar pemerintah memiliki data perdagangan dalam negeri yang akurat sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Gabungan Tally Mandiri Indonesia (GTMI), Ricky Handersen mengatakan, saat ini akurasi data perdagangan antarpulau/domestik masih diragukan lantaran tidak tercatat dan terekapitulasi secara benar sejak proses pengapalan dan bongkar muat di pelabuhan.
"Kegiatan perdagangan antarpulau di Indonesia saat ini tidak tercatat dengan baik akibat proses pengapalan dan pendistribusiannya tidak dilakukan sesuai UU Pelayaran, Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan dalam dua beleid itu dinyatakan perlu dilakukan tally atau pencatatan dan penghitungan oleh lembaga independen," ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (9/8/2017)
Sesuai Undang-Undang No.17/2008 tentang Pelayaran pasal 31 ayat (2) butir e, kata Ricky, jasa terkait dengan angkutan di perairan adalah tally mandiri. Selanjutnya juga diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2010 tentang Angkutan di Perairan pasal 79 ayat (2) butir e.
“Namun kegiatan jasa tally mandiri tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, kegiatan tally mandiri sudah diatur juga dalam SK Menteri Perhubungan No. KM-15/2007,” kata Ricky.
Dia menambahkan bahwa kegiatan tally mandiri tidak hanya wajib dilakukan dalam proses bongkar muat barang di kapal-kapal dalam negeri (antarpulau), tetapi juga dalam proses bongkar muat kapal internasional (ekspor dan impor).
Selain menghasilkan data barang yang akurat, lanjut Ricky, tally mandiri dapat mencegah terjadinya illegal trading (penyelundupan), perlindungan terhadap konsumen serta dapat mengoptimalkan pendapatan negara dari proses perdagangan antarpulau maupun ekspor dan impor.
Dia mencontohkan bahwa dalam beberapa bulan yang lalu ada pengapalan 100 ekor sapi dari Kalimantan Utara ke Jakarta tapi dilaporkan hanya 70 ekor sapi. “Yang lebih rawan lagi di daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, banyak barang keluar masuh tak tercatat dengan baik sehingga merugikan perekonomian nasional," paparnya.
Demikian juga data impor Indonesia dari China seharusnya volume dan nilainya sama dengan ekspor dari China ke Indonesia. Namun kalau data statistik kedua negara disandingkan akan terjadi selisih yang cukup signifikan.
Dia menyebutkan, pada 2012 lalu misalnya, mencapai angka sekitar US$10 miliar dan hal ini terjadi terus serta tidak hanya dengan China saja, tetapi hampir dengan semua negara.
Selisih angka perdagangan ini dapat diperoleh dari data yang dipublikasikan oleh WTO (World Trade Organization) dan lembaga internasional lainnya. Memang selama ini, kata Ricky, masih ada pihak yang menilai bahwa tarif jasa tally mandiri terlalu mahal dan menambah biaya logistik.
“Hal ini tidak benar, karena tarif tally sangat murah bila dibandingkan dengan jasa survei maupun kebijakan wajib timbang peti kemas/VGM yang diwajibkan IMO," ujar dia.(K1)